Sabtu, 06 Desember 2008

MEMINIMALISIR KONFLIK DAN MENUMBUHKEMBANGKAN KESADARAN PLURALISME PADA SISWA SMA NEGERI 2 SAMBAS DALAM PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Abstrak: Keamanan dan ketertiban merupakan salah satu factor yang sangat berperan dalam berlangsungnya berbagai aktivitas untuk mewujudkan pembangunan, khususnya di Sambas. Masyarakat Sambas memiliki tingkat pluralisme cukup tinggi, pada dasarnya dapat hidup berdampingan secara damai, penuh teloransi dengan semengat pluralisme yang tinggi. Namun kini kesadaran pluralisme mulai bergeser, hal itu disebabkan faktor ketidakadilan dan menonjolnya rasialisme antaretnis pendatang (Madura) dengan mayoritas pribumi (penduduk asli Sambas). Kajian ini bertujuan mendeskripsikan tentang: (1) penyebab konflik, (2) meminimalisir konflik, (3) dampak konflik, dan (4) menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan menggunakan metode kulitatif, dan pendekatan analisis rasional berdasarkan pengamatan, pemikiran, dan pengalaman menghadapai konflik “Sambas Berdarah Tahun 1999” dan didukung studi literature. Diperoleh data berupa deskripsi tentang upaya dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme siswa dengan mengitegrasikan topik tersebut dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Analisis dilakukan sesuai dengan rumusan masalah. Hasil yang diperoleh menunjukkan siswa dapat: (1) memahami perbedaan yang ada sehingga konplik tidak perlu terulang, (2) lebih aktif dan kreatif mencari solusi untuk meredam konflik, (3) terjalinnya komunikasi yang baik dalam menyelesaikan konflik, dan (4) adanya perubahan sikap/prilaku positif dalam menjaga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Kata kunci:meminimalisir konflik, menumbuhkembangkan, kesadaran pluralisme

Kabupaten Sambas merupakan Kabupaten yang baru berusia 8 tahun (sesuai dengan UU No. 10 tahun 1999 dan Instruksi Mendagri No.17 tahun 1999) tentang pemekaran wilayah Kabupaten Sambas menjadi 3 kabupaten, yakni Sambas, Singkawang, dan Bengkayang. Sebagai salah satu kabupaten baru di Kalimantan Barat, Sambas dengan gencarnya membangun dan berupaya lebih mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Hal itu terbukti dengan adanya pemekaran wilayah kecamatan yang semula 9 kecamatan menjadi 19 kecamatan. Sesuai dengan visi Kabupaten Sambas ”Terpikat Terigas”. Kata ”Terpikat” merupakan akronim dari

___________________

*Alamat Korepondensi: Jl. Sejangkung No.81 A Sambas (Kalbar)

Telp.(0562)391553, HP.081522574988, E-mail: eni_dewi_kurniawati@yahoo.co.id

(Tingkatkan Ekonomi Kerakyatan, Relegius, Pendidikan, dan Kesehatan). Sedangkan “Terigas” akronim dari (T = Tertib dan Teratur, E = Ekonomi Kerakyatan dan Sinergis dalam investasi, R = Religius, I = Iptek, G = Good Governance, A =Amanah yang akhlaqul Karimah, S = social control Partisipation). Hal senada diperkuat oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas dengan visinya ”Menciptakan masyarakat Sambas Lebih Berkualitas Tahun 2010”.

Untuk mewujudkan visi tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah satu faktor yang sangat berperan yaitu terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena kondisi aman dan tertib maka segala aktivitas dapat dilaksanakan dengan lancar.

Masyarakat Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 639.570 km2 memiliki jumlah penduduk ± 462.202 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,2% s.d 1,8% per tahun. Seperti warga Indonesia lainnya memiliki tingkat Pluralisme yang cukup tinggi. Dari sisi etnis jumlahnya ±61,04% Melayu, 20,57% Cina keturunan, 12,39% Dayak, sisanya 6% terdiri dari beragam etnis seperti : Bugis, Jawa, Batak, Sunda, Padang, dan lain sebagainya terkecuali Madura. Dari sisi agama jumlahnya ± 65,83% Islam, 7,01% Kristen Protestan, 9,24% Kristen Katolik, 12,61% Budha, 0,10% Hindu dan sisanya 5,25% Kepercayaan (Tim, 2002:18).

Pada dasarnya masyarakat Sambas hidup berdampingan secara damai penuh toleransi dalam semangat pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran pluralisme, mulai bergeser sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tidak merata, sehingga sering munculnya tindak kekerasan /konflik. Pernyataan tersebut dipertegas Marx dan Dom Helder dalam Hendry (2003:118) “lebih melihat bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam persepktif struktural, konflik karena persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial”.

Kerawanan konflik di Sambas masih terasa pada saat ini, hal itu dibuktikan dengan munculnya konflik antar etnis di desa Keraban Jaya, Kecamatan Subah (warga asli setempat dengan warga transmigrasi/pendatang) yang terjadi pada awal Mei 2003 yang mempersekatakan pengaplingan areal kelapa sawit (AP Post, 2003:17). Untunglah hal itu cepat diantisipasi sehingga tidak meluas.

Munculnya berbagai kelompok masyarakat dan organisasi yang mengatasnamakan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Dari keempat masalah tersebut di Sambas yang paling menonjol adalah rasialisme antarmasyarakat etnis pendatang dengan mayoritas pribumi. Hal tersebut dibuktikan dengan terjadinya beberapa kali konflik antaretnis di Kabupaten Sambas (±12 kali sejak 1957-2003). Salah satu konflik tersebut yang paling tragis terjadi awal tahun 1999. Konflik yang terjadi secara massal antarmasyarakat Melayu (penduduk asli setempat) dengan etnis Madura. Peristiwa yang menggoreskan duka dan trauma yang dalam karena banyak menelan korban harta dan nyawa. Ribuan etnis Madura diungsikan dari Kabupaten Sambas, sehingga pada saat ini (2008) masyarakat Sambas belum bersedia menerima etnis Madura kembali ke Sambas.

Selanjutnya diungkapkan oleh Saad (2003:15) variabel yang cukup signifikan menjadi penyebab konflik antarwarga Madura dengan Melayu Sambas adalah masalah perbedaan kultur dan hubungan sosial antaretnis tersebut. Hal tersebut semakin menonjol sehingga menimbulkan sikap primordial (sentimen kesukuan yang sempit). yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat, sebagai akibat dari kecurigaan antarkelompok. Jika hal itu dibiarkan maka situasi kerawanan konflik akan menjadi konflik nyata dan terbuka. Akhirnya akan merusak integritas bangsa.

Untuk menghindari agar konflik tidak terjadi/berkembang maka perlu dihimbau kepada generasi muda (pelajar) yang dianggap sebagai kelompok yang masih mencari jati diri, penuh emosi, dan idealisme yang tinggi agar dapat mengkonsentrasikan diri untuk meredam konflik dan mempelopori perdamaian. Apalagi selama konflik berlangsung diantara mereka tidak hanya mendengar dan menyaksikan bahkan ada yang ikut serta dalam pergolakan konflik tersebut.

Menyadari kondisi aktual tersebut di atas, maka perlunya kesadaran pluralisme dan menjauhi primordial. Salah satu upaya yang ditempuh yaitu, melalui proses pembelajaran di sekolah. Karena sekolah merupakan salah satu tempat untuk mendidik para siswa sebagai generasi penerus. Model pembelajaran yang dapat ditempuh yaitu dengan mengintegrasikan topik tersebut pada kecakapan hidup dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting dilakukan dalam pembelajaran, karena jika dibiarkan akan mengganggu ketahanan nasional dan dapat mengancam integritas bangsa yang tercinta ini.

Konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill education) sangat dianjurkan pemerintah dalam penerapan KTSP. ”Model integrasi kecakapan hidup” ini diperkuat dalam PP nomor 19 tahun 2005, pasal 13 dan panduan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa ”pada tingkat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah atau yang sederjat dapat memasukkan pendidikan kecakan hidup” (BSNP, 2007:5)

Sesuai dengan paparan di atas, masalah yang dikaji yakni: (1) faktor-faktor apakah penyebab konflik di Sambas, (2) upaya apakah yang dilakukan dalam meminimalisire konflik di Sambas, (3) dampak apa sajakah yang timbul dari konflik di Sambas, dan (4) bagaimana meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia?

Sejalan dengan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang: (1) faktor-faktor penyebab konflik di Sambas, (2) upaya yang dilakukan dalam meminimalisir konflik di Sambas, (3) dampak yang ditimbulkan dari konflik di Sambas, dan (4) meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam kajian ini, yaitu metode kualitatif dengan menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis yang dianalisis secara rasional. Prosedur pemecahan masalah dilakukan berdasarkan pengamatan, pemikiran, dan pengalaman langsung dalam menghadapai konflik “Sambas Berdarah Tahun 1999” dan praktik/kegiatan belajar mengajar (KBM) di SMU N. 2 Sambas, serta didukung studi literature.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan rumusan masalah, berikut dikemukakan hasil penelitian beserta pembahasannya.

A. Faktor-Faktor Penyebab Konflik di Sambas

Pada dasarnya manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial, yang mempunyai sifat, watak, dan kehendak serta kepentingannya masing-masing. Apabila watak dan kehendaknya sesuai dengan kehendak dan kepentingan orang lain maka terciptalah hubungan yang harmonis dan serasi. Manakala kepentingan dan kehendaknya bertentangan dengan kehendak dan kepentingan orang lain maka akan terjadi benturan-benturan yang dapat memicu konflik sosial. Sebab konflik yang terjadi di Sambas, antara lain:

1. Ketidakadilan

Ketidakadilan dalam menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi antaretnis (Madura dan Sambas) sering memicu timbulnya konflik. Hal senada dikuatkan pendapat Helder dalam Hendry (2002:116) yang menyatakan bahwa penyebab utamanya terjadinya kekerasan adalah ketidakadilan (Unjustice). Ketidakadilan akan menimbulkan kemiskinan, sementara kemiskinan akan merusak sendi kehidupan manusia dan suatu waktu akan menjadi "bom waktu".

Masalah ketidakadilan sudah berlangsung lama. Hal itu terjadi, karena dalam menyelesaikan masalah selalu ingin menang dan main hakim sendiri. Sedangkan aparat penegak hukum terkesan lamban dan kurang persuasif dalam menyelesaikan masalah. Selanjutnya, lemahnya supremasi hukum dan kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat semakin memicu timbulnya konflik.

Sementara, masyarakat Melayu Sambas selama ini selalu berusaha mengalah atau menghindari tindak kekerasan. Selanjutnya, puncak ketidaksabaran muncul dan tak dapat dihindari lagi, sehingga terjadilah konflik terbuka ”Tragedi Sambas Berdarah Tahun 1999”. Untuk mengantisipasi agar korban tidak terus berjatuhan. Pemerintah segara memindahkan warga Madura ke tempat pengungsian, yaitu Singkawang dan Pontianak, bahkan ada yang langsung ke Madura.

2. Perbedaan Kurltur yang Sangat Tajam

Hampir seluruh wilayah Indonesia ini terdapat etnis Madura. Pada umumnya mereka hidup sebagai petani, peternak, pedagang, dan pekerja disektor informan lainnya. Jumlah penduduk etnis Madura di Kalbar ± 125.000 jiwa (Saad, 2002: 20). Jumlah etnis Madura yang cukup besar tersebut pada umumnya menepati daerah-daerah baru dan hidupnya masih bersifat exlusive, dan enggan menyatu dengan masyarakat pribumi. Sebagian besar mereka membangun pemukiman baru yang terpisah dari penduduk asli. Selanjutnya, mendirikan tempat-tempat ibadah, sarana pendidikan, dan mendatangkan guru/ustadz dari Madura. Mereka membawa kebiasaan atau adat budaya daerah asalnya seperti: membawa senjata tajam di tempat umum dan seakan-akan bersikap arogan.

Kebiasaan tersebut bertolak belakang/ berseberangan dengan kultur masyarakat Melayu Sambas yang peramah, santun dan penuh persahabatan serta memiliki toleransi yang tinggi. Sebagai buktinya masyarakat Melayu bersedia menerima para pendatang dari etnis manapun seperti: Jawa, Sunda, Batak, Bugis dan lain-lain.

Perbedaan Kultur tersebut, sering memicu timbulnya konflik. Hal itu diperkuat oleh pendapat Kusuma dalam Saad (2002:16) yang mengatakan "konflik antaretnis Melayu dan Madura di Sambas terletak pada perbedaan kultur yang terlalu tajam".

Hal senada diungkapkan oleh Kuncoroningrat dalam Saad (2002:18) yang mengatakan konflik dapat disebabkan oleh beberapa hal di antaranya: (a) konflik dapat terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang sama, (b) konflik dapat terjadi kalau warga dari suku bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur dari kebudayaan kepada warga dari satu suku bangsa lain, (c) konflik akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suku bangsa lain secara politis, dan (d) potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

Kekecewaan dan ketidaksenangan masyarakat Melayu terhadap sebagian prilaku warga Madura yang menyinggung perasaan makin tidak bisa terbendung. Apalagi semboyan "Dimana Bumi di Pijak Disitu Langit di Junjung" tidak dipedulikan oleh warga Madura di Sambas.

Sebagai puncak akumulasi kekecewaan maka meletuslah peristiwa ”Sambas Berdarah Tahun 1999” sebagai konflik terbuka dan tak dapat dihindari lagi. Peristiwa yang banyak menelan korban harta dan nyawa itu menimbulkan trauma. Untuk menghindari jatuhnya korban yang semakin banyak, kemudian warga Madura diungsikan dari Sambas dan sampai saat ini masyarakat Sambas belum bersedia (menolak) kembalinya warga Madura ke Sambas. Hal tersebut mengakibatkan pembauran menjadi terhambat. Untuk itu diharapkan setiap etnis lebih menghayati dan mengamalkan arti penting persatuan dan kesatuan bangsa dalam upaya memperkokoh Ketahanan Nasional dan Negara Kesatuan Ripublik Indonesia (NKRI).

Selanjutnya diharapkan peran para elite politik hendaknya lebih ditingkatkan dalam upaya dinamisasi musyawarah dalam mengambil keputusan serta menjauhi cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan.

B. Upaya yang Dilakukan untuk Meminimalisir Konflik

Konflik horizontal secara massal dapat mengakibatkan kerugian sangat besar baik harta maupun nyawa. Konflik tersebut banyak menyita energi, pikiran dan dana yang sangat besar untuk merekontruksinya kembali. Apalagi dampak konflik itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan nasional. Untuk itu perlu segera dicarikan solusi agar kerawanan konflik tidak terjadi. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya:

1. Mengadakan Pembauran

Agar terjadinya pembauran, diharapkan setiap warga untuk hidup berdampingan, tanpa memisahkan diri dari suatu komunitas tertentu (hidup berkelompok). Setiap warga perlu mengadakan kontak sosial dengan warga lainnya. Karena hidup berkelompok (exiusif) akan menimbulkan hegemoni kelompok sehingga akan mudah mengundang konflik (Saad, 2002:29).

Selain itu kerelaan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya yang berkembang di masyarakat menjadi keharusan, sehingga warga pendatang harus pandai beradaptasi dan berasimilasi dengan warga setempat. Kemusian, Saad (2002:19) mengakatan pembauran akan berhasil apabila: (a) anggota masyarakat merasa bahwa mereka saling mengisi kebutuhan satu dengan lainnya dan tidak saling menghalangi atau merugikan, (b) terdapat konsensus antarkelompbk mengenai norma-norma sosial yang memberi arah pada tujuan yang dicita-citakan serta menjadi bahan kajian bagaimana cara dan upaya untuk mewujudkannya, dan (c) bertahannya norma-norma tersebut dalam tempo yang relatif lama dan tidak setiap saat berubah-ubah.

Selanjutnya dipertegas Muetojib dalam Saad (2002:19) mengatakan ketidaklancaran pembauran disebabkan oleh beberapa hal: (1) adanya perbedaan kebudayaan yang besar dengan penduduk setempat, (2) adanya perasaan lebih unggul dari golongan etnik pribumi, dan (3) adanya reaksi dari penduduk pribumi yang wajar terhadap segala sesuatu yang asing.

2. Pentingnya Interaksi Sosial yang Harmonis

Kehidupan masyarakat yang pluralris, dengan adat istiadat serta budaya yang berbeda mengharuskan adanya sikap hidup yang saling menghargai, menghormati, menjaga kerukunan dan sesama warga, serta menjauhkan hal-hal yang bertentangan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Kebiasaan membawa senjata tajam dan selalu membawa nama komonitas etnis dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan etnis Melayu dan tak jarang diakhiri dengan pertumpahan darah.

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan hendaknya dengan kepala dingin. Perlu adanya kerjasama antarkelompok masyarakat, tokoh agama dan pemerintah dalam memberikan pandangan tentang pentingnya kebersamaan untuk merajut kekuatan dalam menjaga persatuan bangsa. Hal itu sesuai dengan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” dan ikrar ”Sumpah Pemuda”, melakukan introspeksi diri, keterbukaan, dan tidak main hakim sendiri.

3. Pentingnya Supremasi Hukum

Terciptanya suasana aman, damai, dan tertib manakala masyarakat saling menghargai, menghormati, mentaati dan mematuhi norma-norma yang berlaku. Baik norma agama, hukum, kesusilaan, kesopanan dan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Demikian pula jika terjadi pelanggaran-pelanggaran norma hendaknya segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku agar dapat membawa rasa keadilan di dalam masyarakat. Apabila penyelesaian terhadap pelanggaran tidak adil, maka akan menimbulkan gejolak sosial. Selanjutnya, masyarakat akan menyelesaikan konflik tersebut dengan cara main hakim sendiri. Hal itu disebabkan karena masyarakat tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga yang menangani berbagai masalah. Selanjutnya, diperkuat oleh pendapat Saad (2002: 223) yang menyatakan bahwa: ”peristiwa ketupat berdarah tidak akan terjadi bila aparat penegak hukum bertindak tegas”.

Untuk itu diharapkan supremasi hukum harus ditegakkan. Aparat hukum harus persuasif dengan segera menyelesaikan dan meluruskan setiap persoalan yang muncul. Kemudian, diharapkan aparat penegak hukum bersih dan berwibawa, mengutamakan keadilan untuk masyarakat, menghukum yang salah dan membela yang benar serta jauh dari sikap-sikap tidak terpuji yang dapat menurunkan citra aparat penegak hukum. Di samping itu lemahnya kesadaran hukum warga negara yang cenderung untuk tidak mengindahkan hukum yang berlaku menambah lemahnya penegak hukum.

C. Dampak Konflik di Sambas

Konflik antaretnis Melayu dan Madura di Sambas tahun 1999 membawa dampak antara lain:

1. Dampak Positif

a. Terciptaknya Ketertiban dan Keamanan di Sambas

Situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Sambas semakin membaik, jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya konflik. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya angka kriminalitas yang terjadi di Sambas.

b. Timbulnya Rasa Persatuan Antarwarga

Setelah konflik sosial terjadi, masyarakat Melayu mulai mempererat rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan. Sebagai indikasinya yaitu lahirnya organisasi massa seperti Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) di Sambas. Organisasi ini dalam setiap kegiatan, baik di tingkat desa maupun kabupaten, selalu berperan aktif dalam membangun dan menjaga keamanan. Sebelum konflik dengan etnis Madura terjadi, persatuan warga Melayu belum tampak. Selanjutnya, jika ada persoalan antaretnis biasanya diselesaikan secara pribadi (belum adanya kepedulian terhadap sesama warga Melayu). Kini kekompakan, persaudaraan dan kebersamaan warga Melayu yang diwadahi oleh PFKPM semakin erat dan kuat, sehingga ketertiban dan keamanan selalu terjaga.

c. Trauma Kejiwaan

Pembunuhan secara massal telah terjadi. Hal tersebut tidak dibenarkan jika dilihat dari tatanan nilai agama, tradisi, hukum, HAM, maupun konstitusionalisme modern. Anggaplah tragedi tersebut sebagai pengalaman dan pelajaran yang sangat berarti, sehingga tak perlu terulang kembali. Peristiwa tragis tersebut telah menimbulkan luka dan trauma yang dalam dikedua belah pihak yang bertikai.

d. Banyaknya Senjata Api Rakitan

Untuk menjaga keamanan dari munculnya konflik susulan (serangan balik) akhirnya kedua belah pihak yang bertikai mempersiapkan diri dengan memiliki senjata api rakitan. Hal tersebut sangat berbahaya dan dapat menimbulkan tindakan yang fatal apabila salah menggunakannya. Di samping itu kepemilikan senjata api tersebut adalah illegal.

e. Berkembangnya Primordialisme

Munculnya sifat sukuisme yang berlebihan akan menganggu rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya timbulnya sikap primordialisme.

f. Banyak Siswa yang Putus Sekolah

Banyak siswa tidak dapat melanjutkan sekolah karena di tempat pengungsian belum adanya sarana dan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan jenjang seperti SLTP dan SLTA

g. Terhambatnya Investasi

Infestor enggan menanamkan modalnya, jika keamanan daerah tidak terjamin. Selanjutnya angka pengangguran makin tinggi dan secara otomatis terpuruknya perekonomian. Hal tersebut menjadi masalah ketenagakerjaan untuk mencarikan solusinya.

D. Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme pada Siswa

1. Gambaran Kesadaran Pluralisme

Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dengan adanya berbagai suku, agama, budaya, adat, dan bahasanya. Suku-suku bangsa tersebut baik yang mayoritas maupun minoritas selalu berusaha mempertahankan kebudayaannya. Selanjutnya, warga harus siaga dalam menghadapi tantangan terhadapat lingkungan yang dipenuhi berbagai hambatan yang datang dari dalam maupun luar. Warga masyarakat hendaknya mampu beradaptasi dan berinteraksi secara intensif dan janganlah mempertentangkan keberagaman yang ada, sehingga dapat memicu konflik untuk saling memisahkan diri. Tetapi harus dianggap sebagai sesuatu yang berharga dan patut dibanggakan, karena semua itu anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Perlu disadari Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol persatuan dan kesatuan bangsa seakan-akan sedang diuji ketangguhnnya. Kehidupan masyarakat rukun dan damai seolah-olah menjadi kenangan masa lalu. Kenyataan itu ditandai dengan merebaknya tindakan tragis dan anarkis yang terjadi saat ini. Bangsa Indonesia sepertinya lupa bahwa 80 tahun yang lalu, para pemuda berjuang dengan darah dan air mata untuk mempersatukan bangsa yang terpecah belah. Hingga dikumandangkannya “Sumpa Pemuda” yang merupakan jawaban atas segala keberagaman. Namun kini “Sumpah Pemuda” hanya sebatas rangkaian kata tanpa makna.

Selanjutnya, perlu diingat dimanapun berada perbedaan itu selalu ada. Hal itu tidak perlu dipertentangkan dan disesali, tetapi perlu dijaga dan dilestarikan. Jadikanlah perbedaan sebagai motivasi dan tekad untuk mempererat tali persaudaraan, serta berpartisipasi aktif dalam kebersaaan. Ingatlah Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaannya bukan untuk dibeda-bedakan, tetapi saling mengisi dan saling melengkapi kekurangan yang ada sehingga tercipta keutuhan dalam kebersamaan untuk merajut kekuatan dan kesatuan bangsa ini. Perlu dideteksi kembali dari mana asal suku-suku yang beragam itu. Hal itu diterangkan dalam Al-Qur'an Surah Al Hujurat Ayat 13 yang intinya: "Manusia itu tercipta dari seorang laki-laki dan perempuan yaitu Adam dan Hawa serta menjadikan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kenal mengenal. Maka yang paling baik di antara manusia itu ialah yang bertaqwa".

Perbedaan perlu dikelola dan dijaga dengan baik, karena perbedaan itu dapat membangun tatanan keindahan. Kalaulah semua yang ada di muka bumi ini, seperti: diciptakan manusia sama/homogen, apakah terasa adanya keindahan? Namun, akan mengalami kesulitan untuk membedakan satu dengan lainnya. Justru keanekaragaman itulah akan menimbulkan variasi-variasi keindahan. Jadikanlah perbedaan itu sebagai sebuah kompetisi positif antarindividu untuk memajukan bagsa. Agar tampil prima di internasional dengan segala keberagaman dan kebersamaan. Karena keberagaman merupakan kebanggaan dan aset negara yang sangat berharga. Kekaguman bangsa lain akan keberagaman yang bervariasi dan unik dari bangsa Indonesia merupakan suatu keistimewaan yang dimiki bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Untuk itu perlu menciptakan dan menjaga keharmonisan dan keberagaman. Selanjutnya Colin Rose dalam Aswandi (2003:7) mengatakan "Membina keharmonisan jauh lebih baik dari sekedar berkompetisi. Karena disadari bahwa manusia manjadi makhluk yang paling sukses bukan karena kemampuannya bersaing, melainkan lebih karena kemampuannya untuk bekerjasama".

2. Upaya Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran

PIuralisme pada Siswa SMA N. 2 Sambas dalam Pelajaran Bahasa Indonesia

Dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas perlu dilakukan dalam proses pembelajaran dan diberbagai kegiatan ekstrakurikuler. Mengingat bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tungga Ika ini telah terusik ketentraman dan keamananya karena terjadinya konflik dibeberapa daerah di wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini. Khususnya konflik antaretnis terjadi di Sambas tahun 1999.

Untuk menanamkan kesadaran Pluralisme pada siswa diperlukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa multietnis yang diintegrasikan melalui pembelajaran. Berdasarkan hasil studi literature Amrazi Zaksa dalam Aswandi (2003:7) disimpulkan 5 dimensi pokok pendidikan multietnis yakni:

1) integrasi isi (contenst integration) berkenaan dengan upaya guru untuk memasukkan informasi keetnisan dalam pembelajaran, 2) proses konstruksi pengetahuan (knowledge contraction process) berkenaan dengan prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi pembelajaran dan bagaimana proses individual dan kelompok etnis dan kelas sosial berpengaruh terhadap upaya memahami materi tersebut, 3) pengurangan prasangka sosial (prejudice reduction) berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan strategi yang dapat digunakan untuk membantu mereka menumbuhkan sikap dan nilai yang lebih demokratis, 4) keadilan pembelajaran (equity pedagogy) berkenaan dengan upaya guru memfasilitasi berbagai kelompok etnis atau kelas sosial agar mendapat kesempatan yang sama dalam perolehan pembelajaran, dan 5) pemberdayaan kultur sekolah (empowering school cultural) berkenaan dengan proses merestrukturisasi kebudayaan dan organisasi sekolah agar siswa dari berbagai etnis dan kelas yang beragam itu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Mutu pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademis, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan yang relevan dalam kehidupan di masyarakat. Sehingga mampu mengembangkan diri dalam kehidupan di masyarakat. Hal itu sesuai dengan UU No.20 tahun 2003, Bab II, pasal 3 berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut, betapa sulitnya menciptakan manusia handal, tangguh, dan unggul dalam menghadapi persaingan global. Hal itu didukung pemerintah Kabupaten Sambas dalam visinya “Terpikat Terigas”, selanjutnya didukung oleh SMA Negeri 2 Sambas dengan visi ”Menciptakan SDM berkualitas melalui intelektualitas, religiusitas, sosialitas, humanitas, dan kreativitas”.

Adapun cara yang dilakukan untuk meminilalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA melalui pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai berikut: (1)menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dijabarkan dalam indikator-indikator secara sistematis dengan mempertimbangkan alokasi waktu, (2) menentukan materi peljaran, (3) menyampaikan atau menyajikan materi silabus dalam KBM dengan menggunakan metode diskusi (proses diskusi dapat dilihat pada desain diskusi), (4) mengamati proses diskusi dengan menggunakan format penilaian kecakapan hidup (terlampir). Pengamatan dan penilaian dilakukan oleh dua orang guru, yang dilaksanakan sebelum siswa menerima materi dan sesudah disampaikan materi tersebut , (5) menyimpulkan hasil diskusi, (6) refleksi, dan (7) evaluasi.

Tujuan dilaksanakan penerapan silabus tersebut untuk mencari model yang paling mungkin dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa. Untuk itu perlu didukung oleh strategi pembelajaran yang tepat. Menurut Robert Slavin (1985) menyarankan untuk menggunakan model pembelajaran operatif dan kolaboratif unsur pokok pembelajaran tersebut adalah : l) saling tergantungan positif, 2) tanggungjawab perorangan, 3) tatap muka, 4) komunikasi antar anggota, dan 5) evaluasi proses kelompok (dalam Aswandi, 2003:7). Penerapan silabus tersebut tidak hanya merupakan transfer ilmu dari guru ke siswa tetapi bersama-sama siswa melakukan infestigasi dan konstruksi pengetahuan yang dapat diiringi perubahan sikap dan prilaku ke arah positif. Hal tersebut dapat dilihat dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan adanya komunikasi yang baik dalam diskusi. Siswa lebih aktif dan kreatif menuangkan gagasan untuk mencari solusi dalam meredam konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme. Ternyata siswa dapat memahami perbedaan yang ada sehingga konflik tak perlu terulang. Konflik itu muncul karena kurangnya memahami kesadaran diri sendiri dan orang lain. Merasa diri paling hebat tanpa mengenal kompromi. Untuk itu perlu mengamalkan segala aturan dan mematuhi segala larangan.

Pandangan-pandangan yang dikemukakan siswa dalam diskusi tergambarlah sebuah pola pikir yang patut diacung jempol. Mereka mencoba memahami perbedaan yang ada dari berbagai segi kehidupan seperti : latar belakang sejarah perjuangan bangsa dalam mempersatukan bangsa Indonesia, falsafah Negara, kehidupan sosial, agama dan berbagai konflik yang terjadi di Indonesia sampai ke manca negara.

Betapa luasnya jangkauan dan pola pikir yang mereka dalam memandang perbedaan dan konflik. Kegiatan diskusi begitu memukau, para siswa beradu argumentasi dalam memahami perbedaan yang ada dan mencari solusi terbaik dalam meredam konflik hingga masalah penanganan pengungsi (khususnya pengungsi Sambas). Pola pikir cemerlang generasi muda sebagai harapan bangsa ini perlu ditumbuhkembangkan dan diarahkan dengan baik serta patut dihargai. Pendapat siswa tersebut dapat disimak dalam salah satu karangan persuasi siswa SMA N. 2 Sambas tentang kesadaran Pluralisme dan meminimalisir konflik. Pendapat siswa dapat dilihat pada lampiran I, yang berjudul “Menjaga Persatuan Melalui Kesadaran pada Keberagaman”, karya tulis siswa tersebut telah dimuat dalam BUMI (Buletin Kami) yaitu salah satu Media Informasi Komunikasi siswa yang ada di Kalbar diterbitkan oleh Yayasan Madhanika Pontianak. Mereka mampu mengeluarkan ide-ide yang bernas. Bahkan mengembangkan suatu konsep tertentu untuk mendapatkan kesimpulan sangat menarik. Karena mereka dilibatkan langsung dalam berpikir, beragumentasi, beraktivitas, dan lebih aktif mencari solusi terbaik.

Model tempat diskusi tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi bisa dilaksanakan di tempat lain seperti: ruang keterampilan/pertemuan, Musholla, perpustakaan dan di tanah lapang olah raga. Suasana diskusi tidak mesti duduk di atas kursi, namun dapat dilakukan dengan cara duduk melingkar di lantai/lapangan seperti yang dilakukan ruang musholla. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menyatukan perbedaan etnis diantara mereka. Suasana seperti ini terkesan santai, penuh kebersamaan dan kekeluargaan. Akan tetapi mereka dengan serius menanggapi berbagai persoalan yang dimunculkan. Mereka lebih leluasa beragumen dalam menanggapi, melempar pertanyaan, mengajukan saran dan kritikan. Dengan lapang dada menerima kekurangan dan perbedaan pendapat. Hal tersebut membuat suasana diskusi lebih hidup dan marak.

Hal itu didukung oleh kejelian fasilitator (guru) dalam membaca bahasa tubuh (ekspresi siswa), memberikan penguatan pendapat siswa dalam bentuk pujian. Siswa memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing siswa lainnya dan fasilitator untuk meresponnya. Metode diskusi dikembangkan tanpa moderator tetapi melalui fasilitator yang sekaligus berfungsi sebagai mediator dan motivator. Hal ini memungkinkan siswa membangun kepercayaan yang ada pada dirinya, seperti memberi kesempatan yang sama pada setiap siswa untuk beragumentasi. Karena proses tersebut bukan untuk menjatuhkan lawan tetapi Win-win Solusition.

Melalui proses tersebut tergambarlah pengalaman dan pengetahuan siswa tentang kesadaran dalam menghargai pluralisme dan meredam konflik cukup baik.

Berdasarkan presentasi karya siswa dalam proses diskusi maka dapat digaris bawahi bahwa penanganan konflik mendapat sorotan yang cukup tajam. Mengingat Sambas cukup rentan dan sering munculnya konflik antaretnis yang tragis. Berdasarkan pengamatan hasil presentasi karangan dan diskusi terdapat tiga hal yang menjadi sasaran utama pembahasan siswa yaitu: 1) penyebab konflik, 2) cara mengatasi konflik, dan 3) dampak yang timbul dari konflik.

Prinsip dasar penerapan silabus ini tidak hanya mengintegrasikannya pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi dapat melatih dan meningkatkan keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Selanjutnya, silabus tersebut juga menekankan pada aspek perubahan sikap dan prilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu atau dari prilaku negatif ke prilaku positif. Karena sikap positif dapat menciptakan situasi dan kondisi yang menyenangkan. Sehingga akan terwujud suasana damai, aman, dan harmonis dalam membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju.

Penilaian sikap dilakukan bersamaan dengan penilaian kecakapan hidup. Aspek kecakapan hidup yang digunakan dan dapat diamati pada saat diskusi, antara lain:

(1) kecakapan personal: eksistensi diri, potensi diri, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berpikir rasional, dan (2) kecakapan sosial: berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, bekerja sama, dan menghargai pendapat teman (BSNP, 2007: 24).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan penelitian di atas dapat ditarik simpulan berikut ini:

Pertama, konflik antaretnis di Sambas disebabkan beberapa faktor antara lain: ketidakadilan dan perbedaan kultur yang sangat tajam sehingga menimbulkan primodialisme. Upaya yang dilakukan dalam meredam konflik di Sambas yakni: perlunya kesadaran hukum dan penegakan supermasi hukum, menumbuhkan kesadaran pluralisme sesuai dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Sumpah Pemuda. Sehingga terjalin interaksi sosial yang harmonis demi terwujudnya integritas Nasional. Kedua, dampak yang timbul dari konflik tersebut antara lain: 1) dampak positif: menurunnya angka kriminilitas, eratnya rasa persaudaraan antarwarga, dan terjalinnya interaksi sosial yang lancar, 2) dampak negatif: banyaknya korban jiwa dan harta, timbulnya trauma yang mendalam, beredarnya senjata api rakitan yang illegal, berkembanganya primordialisme, banyaknya anak yang putus sekolah, terhambatnya investasi, dan meningkatnya pengangguran. Ketiga, upaya minimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas melalui pembelajaran Bahasa Indo­nesia telah ditemukan adanya perubahan sikap dan prilaku siswa. Kearah positif dalam memahami perbedaan yang ada, tumbuhnya kreativitas siswa dalam mencari solusi untuk meredam konflik, dan adanya komunikasi yang baik dalam menghadapi permasalahan yang muncul.

Berdasarkan simpulan di atas dapat dikemukakan saran berikut. Pertama,

guru bidang studi yang relevan ( Bahasa Indonesia, PPKn, sosiologi, sejarah, dan agama), khusus bagi guru yang berada di daerah-daerah yang rawan konflik perlu mengintegrasikan semangat pluralisme dalam KBM. Agar pelajar sebagai generasi penerus bangsa memiliki pemahaman tentang pluralisme, sehingga sedini mungkin peluang-peluang konflik dapat diredam. Kedua, aparat penegak hukum harus adil, bertintak cepat, dan persuasif dalam menyelesaikan berbagai masalah. Ketiga, penulis berikutnya dapat mengemangkan tulisan ini dengan metode yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aswandi 2003, 20-21 Mei. Harmonis Dalam Etnis dan Prestasi Akademik Pontianak Post, Him 7.

BSNP. 2007. Model Integrasi Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Depdiknas.

_____. 2007. Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997: Kurikulum SMU (GBPP) Bahasa dan Sastra Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas 2002, Materi Ekspose Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas: Pengembangan Pendidikan Pemuda & Olahraga.

Hendry, Eka 2003. Monofoli Tafsir Kebenaran: Wacana Kritis dan kekerasan Kemanusiaan, Pontianak: Kalimantan Persada Pers.

MPR RI. 2002. UUD 1945. Jakarta: MPR RI.

Pontianak Post, 2003, 19 Mei: Soal Pengungsi di Desa Keraban Jaya. Him 17.

Qudratulluah, Harry, 2002, Mei. Menjaga Persatuan Melalui Kesadaran Pada Keberagaman. BUMI (Buletin Kami). Him 3-4.

Saad, M. Munawar, 2002. Khaiulistiwa Journal of Islamic Students: Analisa Konflik Melayu Madura di Sambas Sebiiah Pembaruan yang Gagal. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) STAIN Pontianak, 1(2): Hlm 13-36.

Tim, 1993, Al Quran dan Terjemahan. Jakarta: Intermasa.

Tim. 2001. Kabupaten Sambas: Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah. Pontianak: Peristiwa Pemda Kabupaten Sambas.


RIWAYAT HIDUP PENULIS

Eni Dewi Kurniawati, S.Pd. Lahir di Tambelan (Riau), 16 Desember 1964. Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 2 Sambas (Kalimantan Barat). Saat ini sedang menyelesaikan S-2 Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Hasil Penelitian tiga tahun terakhir:(1) Meredam Trafficking Perempuan dan Anak di Kabupaten Sambas Dalam Pembelajaran Drama Pada Siswa SMA (Juara II LKG LIPI ), (2) Meminimalisasi Penggunaan Energi (Juara Harapan II Lomba Karya Tulis ”Hari Listrik Nasional Ke-60”), (3) Upaya Menciptakan Lingkungan Belajar yang Demokratis dan Menghargai Keberagaman dalam Penerapan MBS di SMA Negeri 2 Sambas (Juara I LKIG di Kalbar), (4) Meminimalisasi Krisis Mutu Pendidikan di SMA Negeri 2 Sambas dengan Cara Demokratis (Juara II Lomba Kepala Sekolah Berprestasi), (5)Tinjauan Usaha Pengrajin Ukiran Kayu di Desa Mulyo Harjo Jepara (PIR LIPI), (6) Perempuan dan Pendidikan, (7) Menumbuhkan Sikap Ilmiah Pada Remaja, (8) Menilai Sekedar Memberi Angka, (9) Menyikapi Krisis

Budi Pekerti, (10) Penyusunan Suplemen Silabus Trafficking, dan (11) Penyusunan Bahan Ajar Dasar-dasar Demokrasi: Keadilan, Wewenang, dan Tanggung Jawab (tiga jilid) untuk Sekolah Dasar.

Tidak ada komentar: