Sabtu, 06 Desember 2008

MEMINIMALISIR KONFLIK DAN MENUMBUHKEMBANGKAN KESADARAN PLURALISME PADA SISWA SMA NEGERI 2 SAMBAS DALAM PELAJARAN BAHASA INDONESIA

Abstrak: Keamanan dan ketertiban merupakan salah satu factor yang sangat berperan dalam berlangsungnya berbagai aktivitas untuk mewujudkan pembangunan, khususnya di Sambas. Masyarakat Sambas memiliki tingkat pluralisme cukup tinggi, pada dasarnya dapat hidup berdampingan secara damai, penuh teloransi dengan semengat pluralisme yang tinggi. Namun kini kesadaran pluralisme mulai bergeser, hal itu disebabkan faktor ketidakadilan dan menonjolnya rasialisme antaretnis pendatang (Madura) dengan mayoritas pribumi (penduduk asli Sambas). Kajian ini bertujuan mendeskripsikan tentang: (1) penyebab konflik, (2) meminimalisir konflik, (3) dampak konflik, dan (4) menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Dengan menggunakan metode kulitatif, dan pendekatan analisis rasional berdasarkan pengamatan, pemikiran, dan pengalaman menghadapai konflik “Sambas Berdarah Tahun 1999” dan didukung studi literature. Diperoleh data berupa deskripsi tentang upaya dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme siswa dengan mengitegrasikan topik tersebut dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Analisis dilakukan sesuai dengan rumusan masalah. Hasil yang diperoleh menunjukkan siswa dapat: (1) memahami perbedaan yang ada sehingga konplik tidak perlu terulang, (2) lebih aktif dan kreatif mencari solusi untuk meredam konflik, (3) terjalinnya komunikasi yang baik dalam menyelesaikan konflik, dan (4) adanya perubahan sikap/prilaku positif dalam menjaga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).

Kata kunci:meminimalisir konflik, menumbuhkembangkan, kesadaran pluralisme

Kabupaten Sambas merupakan Kabupaten yang baru berusia 8 tahun (sesuai dengan UU No. 10 tahun 1999 dan Instruksi Mendagri No.17 tahun 1999) tentang pemekaran wilayah Kabupaten Sambas menjadi 3 kabupaten, yakni Sambas, Singkawang, dan Bengkayang. Sebagai salah satu kabupaten baru di Kalimantan Barat, Sambas dengan gencarnya membangun dan berupaya lebih mendekatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Hal itu terbukti dengan adanya pemekaran wilayah kecamatan yang semula 9 kecamatan menjadi 19 kecamatan. Sesuai dengan visi Kabupaten Sambas ”Terpikat Terigas”. Kata ”Terpikat” merupakan akronim dari

___________________

*Alamat Korepondensi: Jl. Sejangkung No.81 A Sambas (Kalbar)

Telp.(0562)391553, HP.081522574988, E-mail: eni_dewi_kurniawati@yahoo.co.id

(Tingkatkan Ekonomi Kerakyatan, Relegius, Pendidikan, dan Kesehatan). Sedangkan “Terigas” akronim dari (T = Tertib dan Teratur, E = Ekonomi Kerakyatan dan Sinergis dalam investasi, R = Religius, I = Iptek, G = Good Governance, A =Amanah yang akhlaqul Karimah, S = social control Partisipation). Hal senada diperkuat oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas dengan visinya ”Menciptakan masyarakat Sambas Lebih Berkualitas Tahun 2010”.

Untuk mewujudkan visi tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Salah satu faktor yang sangat berperan yaitu terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena kondisi aman dan tertib maka segala aktivitas dapat dilaksanakan dengan lancar.

Masyarakat Kabupaten Sambas dengan luas wilayah 639.570 km2 memiliki jumlah penduduk ± 462.202 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,2% s.d 1,8% per tahun. Seperti warga Indonesia lainnya memiliki tingkat Pluralisme yang cukup tinggi. Dari sisi etnis jumlahnya ±61,04% Melayu, 20,57% Cina keturunan, 12,39% Dayak, sisanya 6% terdiri dari beragam etnis seperti : Bugis, Jawa, Batak, Sunda, Padang, dan lain sebagainya terkecuali Madura. Dari sisi agama jumlahnya ± 65,83% Islam, 7,01% Kristen Protestan, 9,24% Kristen Katolik, 12,61% Budha, 0,10% Hindu dan sisanya 5,25% Kepercayaan (Tim, 2002:18).

Pada dasarnya masyarakat Sambas hidup berdampingan secara damai penuh toleransi dalam semangat pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran pluralisme, mulai bergeser sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tidak merata, sehingga sering munculnya tindak kekerasan /konflik. Pernyataan tersebut dipertegas Marx dan Dom Helder dalam Hendry (2003:118) “lebih melihat bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam persepktif struktural, konflik karena persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial”.

Kerawanan konflik di Sambas masih terasa pada saat ini, hal itu dibuktikan dengan munculnya konflik antar etnis di desa Keraban Jaya, Kecamatan Subah (warga asli setempat dengan warga transmigrasi/pendatang) yang terjadi pada awal Mei 2003 yang mempersekatakan pengaplingan areal kelapa sawit (AP Post, 2003:17). Untunglah hal itu cepat diantisipasi sehingga tidak meluas.

Munculnya berbagai kelompok masyarakat dan organisasi yang mengatasnamakan SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Dari keempat masalah tersebut di Sambas yang paling menonjol adalah rasialisme antarmasyarakat etnis pendatang dengan mayoritas pribumi. Hal tersebut dibuktikan dengan terjadinya beberapa kali konflik antaretnis di Kabupaten Sambas (±12 kali sejak 1957-2003). Salah satu konflik tersebut yang paling tragis terjadi awal tahun 1999. Konflik yang terjadi secara massal antarmasyarakat Melayu (penduduk asli setempat) dengan etnis Madura. Peristiwa yang menggoreskan duka dan trauma yang dalam karena banyak menelan korban harta dan nyawa. Ribuan etnis Madura diungsikan dari Kabupaten Sambas, sehingga pada saat ini (2008) masyarakat Sambas belum bersedia menerima etnis Madura kembali ke Sambas.

Selanjutnya diungkapkan oleh Saad (2003:15) variabel yang cukup signifikan menjadi penyebab konflik antarwarga Madura dengan Melayu Sambas adalah masalah perbedaan kultur dan hubungan sosial antaretnis tersebut. Hal tersebut semakin menonjol sehingga menimbulkan sikap primordial (sentimen kesukuan yang sempit). yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat, sebagai akibat dari kecurigaan antarkelompok. Jika hal itu dibiarkan maka situasi kerawanan konflik akan menjadi konflik nyata dan terbuka. Akhirnya akan merusak integritas bangsa.

Untuk menghindari agar konflik tidak terjadi/berkembang maka perlu dihimbau kepada generasi muda (pelajar) yang dianggap sebagai kelompok yang masih mencari jati diri, penuh emosi, dan idealisme yang tinggi agar dapat mengkonsentrasikan diri untuk meredam konflik dan mempelopori perdamaian. Apalagi selama konflik berlangsung diantara mereka tidak hanya mendengar dan menyaksikan bahkan ada yang ikut serta dalam pergolakan konflik tersebut.

Menyadari kondisi aktual tersebut di atas, maka perlunya kesadaran pluralisme dan menjauhi primordial. Salah satu upaya yang ditempuh yaitu, melalui proses pembelajaran di sekolah. Karena sekolah merupakan salah satu tempat untuk mendidik para siswa sebagai generasi penerus. Model pembelajaran yang dapat ditempuh yaitu dengan mengintegrasikan topik tersebut pada kecakapan hidup dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting dilakukan dalam pembelajaran, karena jika dibiarkan akan mengganggu ketahanan nasional dan dapat mengancam integritas bangsa yang tercinta ini.

Konsep pendidikan kecakapan hidup (life skill education) sangat dianjurkan pemerintah dalam penerapan KTSP. ”Model integrasi kecakapan hidup” ini diperkuat dalam PP nomor 19 tahun 2005, pasal 13 dan panduan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP, bahwa ”pada tingkat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah atau yang sederjat dapat memasukkan pendidikan kecakan hidup” (BSNP, 2007:5)

Sesuai dengan paparan di atas, masalah yang dikaji yakni: (1) faktor-faktor apakah penyebab konflik di Sambas, (2) upaya apakah yang dilakukan dalam meminimalisire konflik di Sambas, (3) dampak apa sajakah yang timbul dari konflik di Sambas, dan (4) bagaimana meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia?

Sejalan dengan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang: (1) faktor-faktor penyebab konflik di Sambas, (2) upaya yang dilakukan dalam meminimalisir konflik di Sambas, (3) dampak yang ditimbulkan dari konflik di Sambas, dan (4) meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas dalam pelajaran Bahasa Indonesia

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam kajian ini, yaitu metode kualitatif dengan menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis yang dianalisis secara rasional. Prosedur pemecahan masalah dilakukan berdasarkan pengamatan, pemikiran, dan pengalaman langsung dalam menghadapai konflik “Sambas Berdarah Tahun 1999” dan praktik/kegiatan belajar mengajar (KBM) di SMU N. 2 Sambas, serta didukung studi literature.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan rumusan masalah, berikut dikemukakan hasil penelitian beserta pembahasannya.

A. Faktor-Faktor Penyebab Konflik di Sambas

Pada dasarnya manusia adalah makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial, yang mempunyai sifat, watak, dan kehendak serta kepentingannya masing-masing. Apabila watak dan kehendaknya sesuai dengan kehendak dan kepentingan orang lain maka terciptalah hubungan yang harmonis dan serasi. Manakala kepentingan dan kehendaknya bertentangan dengan kehendak dan kepentingan orang lain maka akan terjadi benturan-benturan yang dapat memicu konflik sosial. Sebab konflik yang terjadi di Sambas, antara lain:

1. Ketidakadilan

Ketidakadilan dalam menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi antaretnis (Madura dan Sambas) sering memicu timbulnya konflik. Hal senada dikuatkan pendapat Helder dalam Hendry (2002:116) yang menyatakan bahwa penyebab utamanya terjadinya kekerasan adalah ketidakadilan (Unjustice). Ketidakadilan akan menimbulkan kemiskinan, sementara kemiskinan akan merusak sendi kehidupan manusia dan suatu waktu akan menjadi "bom waktu".

Masalah ketidakadilan sudah berlangsung lama. Hal itu terjadi, karena dalam menyelesaikan masalah selalu ingin menang dan main hakim sendiri. Sedangkan aparat penegak hukum terkesan lamban dan kurang persuasif dalam menyelesaikan masalah. Selanjutnya, lemahnya supremasi hukum dan kurangnya kesadaran hukum dari masyarakat semakin memicu timbulnya konflik.

Sementara, masyarakat Melayu Sambas selama ini selalu berusaha mengalah atau menghindari tindak kekerasan. Selanjutnya, puncak ketidaksabaran muncul dan tak dapat dihindari lagi, sehingga terjadilah konflik terbuka ”Tragedi Sambas Berdarah Tahun 1999”. Untuk mengantisipasi agar korban tidak terus berjatuhan. Pemerintah segara memindahkan warga Madura ke tempat pengungsian, yaitu Singkawang dan Pontianak, bahkan ada yang langsung ke Madura.

2. Perbedaan Kurltur yang Sangat Tajam

Hampir seluruh wilayah Indonesia ini terdapat etnis Madura. Pada umumnya mereka hidup sebagai petani, peternak, pedagang, dan pekerja disektor informan lainnya. Jumlah penduduk etnis Madura di Kalbar ± 125.000 jiwa (Saad, 2002: 20). Jumlah etnis Madura yang cukup besar tersebut pada umumnya menepati daerah-daerah baru dan hidupnya masih bersifat exlusive, dan enggan menyatu dengan masyarakat pribumi. Sebagian besar mereka membangun pemukiman baru yang terpisah dari penduduk asli. Selanjutnya, mendirikan tempat-tempat ibadah, sarana pendidikan, dan mendatangkan guru/ustadz dari Madura. Mereka membawa kebiasaan atau adat budaya daerah asalnya seperti: membawa senjata tajam di tempat umum dan seakan-akan bersikap arogan.

Kebiasaan tersebut bertolak belakang/ berseberangan dengan kultur masyarakat Melayu Sambas yang peramah, santun dan penuh persahabatan serta memiliki toleransi yang tinggi. Sebagai buktinya masyarakat Melayu bersedia menerima para pendatang dari etnis manapun seperti: Jawa, Sunda, Batak, Bugis dan lain-lain.

Perbedaan Kultur tersebut, sering memicu timbulnya konflik. Hal itu diperkuat oleh pendapat Kusuma dalam Saad (2002:16) yang mengatakan "konflik antaretnis Melayu dan Madura di Sambas terletak pada perbedaan kultur yang terlalu tajam".

Hal senada diungkapkan oleh Kuncoroningrat dalam Saad (2002:18) yang mengatakan konflik dapat disebabkan oleh beberapa hal di antaranya: (a) konflik dapat terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan lapangan pekerjaan dan mata pencaharian yang sama, (b) konflik dapat terjadi kalau warga dari suku bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur dari kebudayaan kepada warga dari satu suku bangsa lain, (c) konflik akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha mendominasi suku bangsa lain secara politis, dan (d) potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

Kekecewaan dan ketidaksenangan masyarakat Melayu terhadap sebagian prilaku warga Madura yang menyinggung perasaan makin tidak bisa terbendung. Apalagi semboyan "Dimana Bumi di Pijak Disitu Langit di Junjung" tidak dipedulikan oleh warga Madura di Sambas.

Sebagai puncak akumulasi kekecewaan maka meletuslah peristiwa ”Sambas Berdarah Tahun 1999” sebagai konflik terbuka dan tak dapat dihindari lagi. Peristiwa yang banyak menelan korban harta dan nyawa itu menimbulkan trauma. Untuk menghindari jatuhnya korban yang semakin banyak, kemudian warga Madura diungsikan dari Sambas dan sampai saat ini masyarakat Sambas belum bersedia (menolak) kembalinya warga Madura ke Sambas. Hal tersebut mengakibatkan pembauran menjadi terhambat. Untuk itu diharapkan setiap etnis lebih menghayati dan mengamalkan arti penting persatuan dan kesatuan bangsa dalam upaya memperkokoh Ketahanan Nasional dan Negara Kesatuan Ripublik Indonesia (NKRI).

Selanjutnya diharapkan peran para elite politik hendaknya lebih ditingkatkan dalam upaya dinamisasi musyawarah dalam mengambil keputusan serta menjauhi cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan.

B. Upaya yang Dilakukan untuk Meminimalisir Konflik

Konflik horizontal secara massal dapat mengakibatkan kerugian sangat besar baik harta maupun nyawa. Konflik tersebut banyak menyita energi, pikiran dan dana yang sangat besar untuk merekontruksinya kembali. Apalagi dampak konflik itu dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang pada gilirannya dapat menghambat pembangunan nasional. Untuk itu perlu segera dicarikan solusi agar kerawanan konflik tidak terjadi. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya:

1. Mengadakan Pembauran

Agar terjadinya pembauran, diharapkan setiap warga untuk hidup berdampingan, tanpa memisahkan diri dari suatu komunitas tertentu (hidup berkelompok). Setiap warga perlu mengadakan kontak sosial dengan warga lainnya. Karena hidup berkelompok (exiusif) akan menimbulkan hegemoni kelompok sehingga akan mudah mengundang konflik (Saad, 2002:29).

Selain itu kerelaan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat dan budaya yang berkembang di masyarakat menjadi keharusan, sehingga warga pendatang harus pandai beradaptasi dan berasimilasi dengan warga setempat. Kemusian, Saad (2002:19) mengakatan pembauran akan berhasil apabila: (a) anggota masyarakat merasa bahwa mereka saling mengisi kebutuhan satu dengan lainnya dan tidak saling menghalangi atau merugikan, (b) terdapat konsensus antarkelompbk mengenai norma-norma sosial yang memberi arah pada tujuan yang dicita-citakan serta menjadi bahan kajian bagaimana cara dan upaya untuk mewujudkannya, dan (c) bertahannya norma-norma tersebut dalam tempo yang relatif lama dan tidak setiap saat berubah-ubah.

Selanjutnya dipertegas Muetojib dalam Saad (2002:19) mengatakan ketidaklancaran pembauran disebabkan oleh beberapa hal: (1) adanya perbedaan kebudayaan yang besar dengan penduduk setempat, (2) adanya perasaan lebih unggul dari golongan etnik pribumi, dan (3) adanya reaksi dari penduduk pribumi yang wajar terhadap segala sesuatu yang asing.

2. Pentingnya Interaksi Sosial yang Harmonis

Kehidupan masyarakat yang pluralris, dengan adat istiadat serta budaya yang berbeda mengharuskan adanya sikap hidup yang saling menghargai, menghormati, menjaga kerukunan dan sesama warga, serta menjauhkan hal-hal yang bertentangan dengan kebudayaan masyarakat setempat. Kebiasaan membawa senjata tajam dan selalu membawa nama komonitas etnis dalam menyelesaikan berbagai masalah dengan etnis Melayu dan tak jarang diakhiri dengan pertumpahan darah.

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan hendaknya dengan kepala dingin. Perlu adanya kerjasama antarkelompok masyarakat, tokoh agama dan pemerintah dalam memberikan pandangan tentang pentingnya kebersamaan untuk merajut kekuatan dalam menjaga persatuan bangsa. Hal itu sesuai dengan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” dan ikrar ”Sumpah Pemuda”, melakukan introspeksi diri, keterbukaan, dan tidak main hakim sendiri.

3. Pentingnya Supremasi Hukum

Terciptanya suasana aman, damai, dan tertib manakala masyarakat saling menghargai, menghormati, mentaati dan mematuhi norma-norma yang berlaku. Baik norma agama, hukum, kesusilaan, kesopanan dan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Demikian pula jika terjadi pelanggaran-pelanggaran norma hendaknya segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku agar dapat membawa rasa keadilan di dalam masyarakat. Apabila penyelesaian terhadap pelanggaran tidak adil, maka akan menimbulkan gejolak sosial. Selanjutnya, masyarakat akan menyelesaikan konflik tersebut dengan cara main hakim sendiri. Hal itu disebabkan karena masyarakat tidak lagi percaya pada lembaga-lembaga yang menangani berbagai masalah. Selanjutnya, diperkuat oleh pendapat Saad (2002: 223) yang menyatakan bahwa: ”peristiwa ketupat berdarah tidak akan terjadi bila aparat penegak hukum bertindak tegas”.

Untuk itu diharapkan supremasi hukum harus ditegakkan. Aparat hukum harus persuasif dengan segera menyelesaikan dan meluruskan setiap persoalan yang muncul. Kemudian, diharapkan aparat penegak hukum bersih dan berwibawa, mengutamakan keadilan untuk masyarakat, menghukum yang salah dan membela yang benar serta jauh dari sikap-sikap tidak terpuji yang dapat menurunkan citra aparat penegak hukum. Di samping itu lemahnya kesadaran hukum warga negara yang cenderung untuk tidak mengindahkan hukum yang berlaku menambah lemahnya penegak hukum.

C. Dampak Konflik di Sambas

Konflik antaretnis Melayu dan Madura di Sambas tahun 1999 membawa dampak antara lain:

1. Dampak Positif

a. Terciptaknya Ketertiban dan Keamanan di Sambas

Situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di Sambas semakin membaik, jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya konflik. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya angka kriminalitas yang terjadi di Sambas.

b. Timbulnya Rasa Persatuan Antarwarga

Setelah konflik sosial terjadi, masyarakat Melayu mulai mempererat rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan. Sebagai indikasinya yaitu lahirnya organisasi massa seperti Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) di Sambas. Organisasi ini dalam setiap kegiatan, baik di tingkat desa maupun kabupaten, selalu berperan aktif dalam membangun dan menjaga keamanan. Sebelum konflik dengan etnis Madura terjadi, persatuan warga Melayu belum tampak. Selanjutnya, jika ada persoalan antaretnis biasanya diselesaikan secara pribadi (belum adanya kepedulian terhadap sesama warga Melayu). Kini kekompakan, persaudaraan dan kebersamaan warga Melayu yang diwadahi oleh PFKPM semakin erat dan kuat, sehingga ketertiban dan keamanan selalu terjaga.

c. Trauma Kejiwaan

Pembunuhan secara massal telah terjadi. Hal tersebut tidak dibenarkan jika dilihat dari tatanan nilai agama, tradisi, hukum, HAM, maupun konstitusionalisme modern. Anggaplah tragedi tersebut sebagai pengalaman dan pelajaran yang sangat berarti, sehingga tak perlu terulang kembali. Peristiwa tragis tersebut telah menimbulkan luka dan trauma yang dalam dikedua belah pihak yang bertikai.

d. Banyaknya Senjata Api Rakitan

Untuk menjaga keamanan dari munculnya konflik susulan (serangan balik) akhirnya kedua belah pihak yang bertikai mempersiapkan diri dengan memiliki senjata api rakitan. Hal tersebut sangat berbahaya dan dapat menimbulkan tindakan yang fatal apabila salah menggunakannya. Di samping itu kepemilikan senjata api tersebut adalah illegal.

e. Berkembangnya Primordialisme

Munculnya sifat sukuisme yang berlebihan akan menganggu rasa nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya timbulnya sikap primordialisme.

f. Banyak Siswa yang Putus Sekolah

Banyak siswa tidak dapat melanjutkan sekolah karena di tempat pengungsian belum adanya sarana dan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan jenjang seperti SLTP dan SLTA

g. Terhambatnya Investasi

Infestor enggan menanamkan modalnya, jika keamanan daerah tidak terjamin. Selanjutnya angka pengangguran makin tinggi dan secara otomatis terpuruknya perekonomian. Hal tersebut menjadi masalah ketenagakerjaan untuk mencarikan solusinya.

D. Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran Pluralisme pada Siswa

1. Gambaran Kesadaran Pluralisme

Kemajemukan bangsa Indonesia dapat dilihat dengan adanya berbagai suku, agama, budaya, adat, dan bahasanya. Suku-suku bangsa tersebut baik yang mayoritas maupun minoritas selalu berusaha mempertahankan kebudayaannya. Selanjutnya, warga harus siaga dalam menghadapi tantangan terhadapat lingkungan yang dipenuhi berbagai hambatan yang datang dari dalam maupun luar. Warga masyarakat hendaknya mampu beradaptasi dan berinteraksi secara intensif dan janganlah mempertentangkan keberagaman yang ada, sehingga dapat memicu konflik untuk saling memisahkan diri. Tetapi harus dianggap sebagai sesuatu yang berharga dan patut dibanggakan, karena semua itu anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa.

Perlu disadari Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol persatuan dan kesatuan bangsa seakan-akan sedang diuji ketangguhnnya. Kehidupan masyarakat rukun dan damai seolah-olah menjadi kenangan masa lalu. Kenyataan itu ditandai dengan merebaknya tindakan tragis dan anarkis yang terjadi saat ini. Bangsa Indonesia sepertinya lupa bahwa 80 tahun yang lalu, para pemuda berjuang dengan darah dan air mata untuk mempersatukan bangsa yang terpecah belah. Hingga dikumandangkannya “Sumpa Pemuda” yang merupakan jawaban atas segala keberagaman. Namun kini “Sumpah Pemuda” hanya sebatas rangkaian kata tanpa makna.

Selanjutnya, perlu diingat dimanapun berada perbedaan itu selalu ada. Hal itu tidak perlu dipertentangkan dan disesali, tetapi perlu dijaga dan dilestarikan. Jadikanlah perbedaan sebagai motivasi dan tekad untuk mempererat tali persaudaraan, serta berpartisipasi aktif dalam kebersaaan. Ingatlah Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaannya bukan untuk dibeda-bedakan, tetapi saling mengisi dan saling melengkapi kekurangan yang ada sehingga tercipta keutuhan dalam kebersamaan untuk merajut kekuatan dan kesatuan bangsa ini. Perlu dideteksi kembali dari mana asal suku-suku yang beragam itu. Hal itu diterangkan dalam Al-Qur'an Surah Al Hujurat Ayat 13 yang intinya: "Manusia itu tercipta dari seorang laki-laki dan perempuan yaitu Adam dan Hawa serta menjadikan manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kenal mengenal. Maka yang paling baik di antara manusia itu ialah yang bertaqwa".

Perbedaan perlu dikelola dan dijaga dengan baik, karena perbedaan itu dapat membangun tatanan keindahan. Kalaulah semua yang ada di muka bumi ini, seperti: diciptakan manusia sama/homogen, apakah terasa adanya keindahan? Namun, akan mengalami kesulitan untuk membedakan satu dengan lainnya. Justru keanekaragaman itulah akan menimbulkan variasi-variasi keindahan. Jadikanlah perbedaan itu sebagai sebuah kompetisi positif antarindividu untuk memajukan bagsa. Agar tampil prima di internasional dengan segala keberagaman dan kebersamaan. Karena keberagaman merupakan kebanggaan dan aset negara yang sangat berharga. Kekaguman bangsa lain akan keberagaman yang bervariasi dan unik dari bangsa Indonesia merupakan suatu keistimewaan yang dimiki bangsa Indonesia yang patut dibanggakan. Untuk itu perlu menciptakan dan menjaga keharmonisan dan keberagaman. Selanjutnya Colin Rose dalam Aswandi (2003:7) mengatakan "Membina keharmonisan jauh lebih baik dari sekedar berkompetisi. Karena disadari bahwa manusia manjadi makhluk yang paling sukses bukan karena kemampuannya bersaing, melainkan lebih karena kemampuannya untuk bekerjasama".

2. Upaya Meminimalisir Konflik dan Menumbuhkembangkan Kesadaran

PIuralisme pada Siswa SMA N. 2 Sambas dalam Pelajaran Bahasa Indonesia

Dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas perlu dilakukan dalam proses pembelajaran dan diberbagai kegiatan ekstrakurikuler. Mengingat bangsa Indonesia yang ber-Bhineka Tungga Ika ini telah terusik ketentraman dan keamananya karena terjadinya konflik dibeberapa daerah di wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini. Khususnya konflik antaretnis terjadi di Sambas tahun 1999.

Untuk menanamkan kesadaran Pluralisme pada siswa diperlukan strategi pembelajaran yang tepat bagi siswa multietnis yang diintegrasikan melalui pembelajaran. Berdasarkan hasil studi literature Amrazi Zaksa dalam Aswandi (2003:7) disimpulkan 5 dimensi pokok pendidikan multietnis yakni:

1) integrasi isi (contenst integration) berkenaan dengan upaya guru untuk memasukkan informasi keetnisan dalam pembelajaran, 2) proses konstruksi pengetahuan (knowledge contraction process) berkenaan dengan prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi pembelajaran dan bagaimana proses individual dan kelompok etnis dan kelas sosial berpengaruh terhadap upaya memahami materi tersebut, 3) pengurangan prasangka sosial (prejudice reduction) berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan strategi yang dapat digunakan untuk membantu mereka menumbuhkan sikap dan nilai yang lebih demokratis, 4) keadilan pembelajaran (equity pedagogy) berkenaan dengan upaya guru memfasilitasi berbagai kelompok etnis atau kelas sosial agar mendapat kesempatan yang sama dalam perolehan pembelajaran, dan 5) pemberdayaan kultur sekolah (empowering school cultural) berkenaan dengan proses merestrukturisasi kebudayaan dan organisasi sekolah agar siswa dari berbagai etnis dan kelas yang beragam itu memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran.

Mutu pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademis, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan yang relevan dalam kehidupan di masyarakat. Sehingga mampu mengembangkan diri dalam kehidupan di masyarakat. Hal itu sesuai dengan UU No.20 tahun 2003, Bab II, pasal 3 berbunyi:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut, betapa sulitnya menciptakan manusia handal, tangguh, dan unggul dalam menghadapi persaingan global. Hal itu didukung pemerintah Kabupaten Sambas dalam visinya “Terpikat Terigas”, selanjutnya didukung oleh SMA Negeri 2 Sambas dengan visi ”Menciptakan SDM berkualitas melalui intelektualitas, religiusitas, sosialitas, humanitas, dan kreativitas”.

Adapun cara yang dilakukan untuk meminilalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA melalui pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai berikut: (1)menyusun silabus berdasarkan standar kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang dijabarkan dalam indikator-indikator secara sistematis dengan mempertimbangkan alokasi waktu, (2) menentukan materi peljaran, (3) menyampaikan atau menyajikan materi silabus dalam KBM dengan menggunakan metode diskusi (proses diskusi dapat dilihat pada desain diskusi), (4) mengamati proses diskusi dengan menggunakan format penilaian kecakapan hidup (terlampir). Pengamatan dan penilaian dilakukan oleh dua orang guru, yang dilaksanakan sebelum siswa menerima materi dan sesudah disampaikan materi tersebut , (5) menyimpulkan hasil diskusi, (6) refleksi, dan (7) evaluasi.

Tujuan dilaksanakan penerapan silabus tersebut untuk mencari model yang paling mungkin dalam meminimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa. Untuk itu perlu didukung oleh strategi pembelajaran yang tepat. Menurut Robert Slavin (1985) menyarankan untuk menggunakan model pembelajaran operatif dan kolaboratif unsur pokok pembelajaran tersebut adalah : l) saling tergantungan positif, 2) tanggungjawab perorangan, 3) tatap muka, 4) komunikasi antar anggota, dan 5) evaluasi proses kelompok (dalam Aswandi, 2003:7). Penerapan silabus tersebut tidak hanya merupakan transfer ilmu dari guru ke siswa tetapi bersama-sama siswa melakukan infestigasi dan konstruksi pengetahuan yang dapat diiringi perubahan sikap dan prilaku ke arah positif. Hal tersebut dapat dilihat dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan adanya komunikasi yang baik dalam diskusi. Siswa lebih aktif dan kreatif menuangkan gagasan untuk mencari solusi dalam meredam konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme. Ternyata siswa dapat memahami perbedaan yang ada sehingga konflik tak perlu terulang. Konflik itu muncul karena kurangnya memahami kesadaran diri sendiri dan orang lain. Merasa diri paling hebat tanpa mengenal kompromi. Untuk itu perlu mengamalkan segala aturan dan mematuhi segala larangan.

Pandangan-pandangan yang dikemukakan siswa dalam diskusi tergambarlah sebuah pola pikir yang patut diacung jempol. Mereka mencoba memahami perbedaan yang ada dari berbagai segi kehidupan seperti : latar belakang sejarah perjuangan bangsa dalam mempersatukan bangsa Indonesia, falsafah Negara, kehidupan sosial, agama dan berbagai konflik yang terjadi di Indonesia sampai ke manca negara.

Betapa luasnya jangkauan dan pola pikir yang mereka dalam memandang perbedaan dan konflik. Kegiatan diskusi begitu memukau, para siswa beradu argumentasi dalam memahami perbedaan yang ada dan mencari solusi terbaik dalam meredam konflik hingga masalah penanganan pengungsi (khususnya pengungsi Sambas). Pola pikir cemerlang generasi muda sebagai harapan bangsa ini perlu ditumbuhkembangkan dan diarahkan dengan baik serta patut dihargai. Pendapat siswa tersebut dapat disimak dalam salah satu karangan persuasi siswa SMA N. 2 Sambas tentang kesadaran Pluralisme dan meminimalisir konflik. Pendapat siswa dapat dilihat pada lampiran I, yang berjudul “Menjaga Persatuan Melalui Kesadaran pada Keberagaman”, karya tulis siswa tersebut telah dimuat dalam BUMI (Buletin Kami) yaitu salah satu Media Informasi Komunikasi siswa yang ada di Kalbar diterbitkan oleh Yayasan Madhanika Pontianak. Mereka mampu mengeluarkan ide-ide yang bernas. Bahkan mengembangkan suatu konsep tertentu untuk mendapatkan kesimpulan sangat menarik. Karena mereka dilibatkan langsung dalam berpikir, beragumentasi, beraktivitas, dan lebih aktif mencari solusi terbaik.

Model tempat diskusi tidak hanya dilakukan di dalam kelas, tetapi bisa dilaksanakan di tempat lain seperti: ruang keterampilan/pertemuan, Musholla, perpustakaan dan di tanah lapang olah raga. Suasana diskusi tidak mesti duduk di atas kursi, namun dapat dilakukan dengan cara duduk melingkar di lantai/lapangan seperti yang dilakukan ruang musholla. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menyatukan perbedaan etnis diantara mereka. Suasana seperti ini terkesan santai, penuh kebersamaan dan kekeluargaan. Akan tetapi mereka dengan serius menanggapi berbagai persoalan yang dimunculkan. Mereka lebih leluasa beragumen dalam menanggapi, melempar pertanyaan, mengajukan saran dan kritikan. Dengan lapang dada menerima kekurangan dan perbedaan pendapat. Hal tersebut membuat suasana diskusi lebih hidup dan marak.

Hal itu didukung oleh kejelian fasilitator (guru) dalam membaca bahasa tubuh (ekspresi siswa), memberikan penguatan pendapat siswa dalam bentuk pujian. Siswa memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing siswa lainnya dan fasilitator untuk meresponnya. Metode diskusi dikembangkan tanpa moderator tetapi melalui fasilitator yang sekaligus berfungsi sebagai mediator dan motivator. Hal ini memungkinkan siswa membangun kepercayaan yang ada pada dirinya, seperti memberi kesempatan yang sama pada setiap siswa untuk beragumentasi. Karena proses tersebut bukan untuk menjatuhkan lawan tetapi Win-win Solusition.

Melalui proses tersebut tergambarlah pengalaman dan pengetahuan siswa tentang kesadaran dalam menghargai pluralisme dan meredam konflik cukup baik.

Berdasarkan presentasi karya siswa dalam proses diskusi maka dapat digaris bawahi bahwa penanganan konflik mendapat sorotan yang cukup tajam. Mengingat Sambas cukup rentan dan sering munculnya konflik antaretnis yang tragis. Berdasarkan pengamatan hasil presentasi karangan dan diskusi terdapat tiga hal yang menjadi sasaran utama pembahasan siswa yaitu: 1) penyebab konflik, 2) cara mengatasi konflik, dan 3) dampak yang timbul dari konflik.

Prinsip dasar penerapan silabus ini tidak hanya mengintegrasikannya pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, tetapi dapat melatih dan meningkatkan keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis). Selanjutnya, silabus tersebut juga menekankan pada aspek perubahan sikap dan prilaku dari yang tidak tahu menjadi tahu atau dari prilaku negatif ke prilaku positif. Karena sikap positif dapat menciptakan situasi dan kondisi yang menyenangkan. Sehingga akan terwujud suasana damai, aman, dan harmonis dalam membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju.

Penilaian sikap dilakukan bersamaan dengan penilaian kecakapan hidup. Aspek kecakapan hidup yang digunakan dan dapat diamati pada saat diskusi, antara lain:

(1) kecakapan personal: eksistensi diri, potensi diri, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berpikir rasional, dan (2) kecakapan sosial: berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, bekerja sama, dan menghargai pendapat teman (BSNP, 2007: 24).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan temuan penelitian di atas dapat ditarik simpulan berikut ini:

Pertama, konflik antaretnis di Sambas disebabkan beberapa faktor antara lain: ketidakadilan dan perbedaan kultur yang sangat tajam sehingga menimbulkan primodialisme. Upaya yang dilakukan dalam meredam konflik di Sambas yakni: perlunya kesadaran hukum dan penegakan supermasi hukum, menumbuhkan kesadaran pluralisme sesuai dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika dan Sumpah Pemuda. Sehingga terjalin interaksi sosial yang harmonis demi terwujudnya integritas Nasional. Kedua, dampak yang timbul dari konflik tersebut antara lain: 1) dampak positif: menurunnya angka kriminilitas, eratnya rasa persaudaraan antarwarga, dan terjalinnya interaksi sosial yang lancar, 2) dampak negatif: banyaknya korban jiwa dan harta, timbulnya trauma yang mendalam, beredarnya senjata api rakitan yang illegal, berkembanganya primordialisme, banyaknya anak yang putus sekolah, terhambatnya investasi, dan meningkatnya pengangguran. Ketiga, upaya minimalisir konflik dan menumbuhkembangkan kesadaran pluralisme pada siswa SMA N. 2 Sambas melalui pembelajaran Bahasa Indo­nesia telah ditemukan adanya perubahan sikap dan prilaku siswa. Kearah positif dalam memahami perbedaan yang ada, tumbuhnya kreativitas siswa dalam mencari solusi untuk meredam konflik, dan adanya komunikasi yang baik dalam menghadapi permasalahan yang muncul.

Berdasarkan simpulan di atas dapat dikemukakan saran berikut. Pertama,

guru bidang studi yang relevan ( Bahasa Indonesia, PPKn, sosiologi, sejarah, dan agama), khusus bagi guru yang berada di daerah-daerah yang rawan konflik perlu mengintegrasikan semangat pluralisme dalam KBM. Agar pelajar sebagai generasi penerus bangsa memiliki pemahaman tentang pluralisme, sehingga sedini mungkin peluang-peluang konflik dapat diredam. Kedua, aparat penegak hukum harus adil, bertintak cepat, dan persuasif dalam menyelesaikan berbagai masalah. Ketiga, penulis berikutnya dapat mengemangkan tulisan ini dengan metode yang bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aswandi 2003, 20-21 Mei. Harmonis Dalam Etnis dan Prestasi Akademik Pontianak Post, Him 7.

BSNP. 2007. Model Integrasi Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Depdiknas.

_____. 2007. Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997: Kurikulum SMU (GBPP) Bahasa dan Sastra Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas 2002, Materi Ekspose Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas: Pengembangan Pendidikan Pemuda & Olahraga.

Hendry, Eka 2003. Monofoli Tafsir Kebenaran: Wacana Kritis dan kekerasan Kemanusiaan, Pontianak: Kalimantan Persada Pers.

MPR RI. 2002. UUD 1945. Jakarta: MPR RI.

Pontianak Post, 2003, 19 Mei: Soal Pengungsi di Desa Keraban Jaya. Him 17.

Qudratulluah, Harry, 2002, Mei. Menjaga Persatuan Melalui Kesadaran Pada Keberagaman. BUMI (Buletin Kami). Him 3-4.

Saad, M. Munawar, 2002. Khaiulistiwa Journal of Islamic Students: Analisa Konflik Melayu Madura di Sambas Sebiiah Pembaruan yang Gagal. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) STAIN Pontianak, 1(2): Hlm 13-36.

Tim, 1993, Al Quran dan Terjemahan. Jakarta: Intermasa.

Tim. 2001. Kabupaten Sambas: Sejarah Kesultanan dan Pemerintahan Daerah. Pontianak: Peristiwa Pemda Kabupaten Sambas.


RIWAYAT HIDUP PENULIS

Eni Dewi Kurniawati, S.Pd. Lahir di Tambelan (Riau), 16 Desember 1964. Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 2 Sambas (Kalimantan Barat). Saat ini sedang menyelesaikan S-2 Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Hasil Penelitian tiga tahun terakhir:(1) Meredam Trafficking Perempuan dan Anak di Kabupaten Sambas Dalam Pembelajaran Drama Pada Siswa SMA (Juara II LKG LIPI ), (2) Meminimalisasi Penggunaan Energi (Juara Harapan II Lomba Karya Tulis ”Hari Listrik Nasional Ke-60”), (3) Upaya Menciptakan Lingkungan Belajar yang Demokratis dan Menghargai Keberagaman dalam Penerapan MBS di SMA Negeri 2 Sambas (Juara I LKIG di Kalbar), (4) Meminimalisasi Krisis Mutu Pendidikan di SMA Negeri 2 Sambas dengan Cara Demokratis (Juara II Lomba Kepala Sekolah Berprestasi), (5)Tinjauan Usaha Pengrajin Ukiran Kayu di Desa Mulyo Harjo Jepara (PIR LIPI), (6) Perempuan dan Pendidikan, (7) Menumbuhkan Sikap Ilmiah Pada Remaja, (8) Menilai Sekedar Memberi Angka, (9) Menyikapi Krisis

Budi Pekerti, (10) Penyusunan Suplemen Silabus Trafficking, dan (11) Penyusunan Bahan Ajar Dasar-dasar Demokrasi: Keadilan, Wewenang, dan Tanggung Jawab (tiga jilid) untuk Sekolah Dasar.

“Upaya Menciptakan Lingkungan Belajar yang Demokratis dan Menghargai Keberagaman dalam Penerapan MBS di SMA Negeri 2 Sambas”

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) telah membawa perubahan dihampir semua aspek kehidupan. Perubahan tersebut telah membawa era persaingan global yang semakin ketat. Untuk itu perlu perencanaan secara terarah,efisien, dan efektif dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan merupakan investasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat yang ingin maju. Kemajuan IPTEK telah banyak merubah cara pandang dan gaya hidup masyarakat Indonesia dalam menjalankan kegiatannya. Selanjutnya peranan teknologi informasi dalam sistem pendidikan telah membawa era baru perkembangan pendidikan. Namun perkembangan tersebut belum diimbangi dengan peningkatan SDM dalam memanfaatkan teknologi informasi dibidang pendidikan. Bahkan realita yang ada lebih ironis dan memprihatinkan, yaitu telah terjadi kemerosotan mutu pendidikan mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga keperguruan tinggi. Hal itu terjadi akibat dari penyelenggaraan pendidikan yang lebih menitik beratkan aspek kuantitas dari pada kualitasnya.

Permasalahan peningkatan kualitas pendidikan yang dihadapi cukup bervariasi. Hal itu tergantung pada kondisi daerah masing-masing. Untuk itu pemerintah perlu memperhatikan potensi daerah dan kendalanya dalam perencanaan pendidikan. Selanjutnya pemerintah daerah pada era Otonomi Daerah diharapkan untuk lebih meningkatkan kemampuannya dalam pembangunan pendidikan, mulai dari, perencanaan, perumusan, pelaksanaan, hingga pemantauan (monitoring) ke daerah-daerah.

1

Selanjutnya Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat telah berupaya mengatasi permasalahan merosotnya mutu pendidikan di Kalimantan Barat melalui visi, yaitu:“Terwujudnya Penyelenggaraan Pendidikan yang optimal, memenuhi standar Nasional dan Internasional” seharusnya visi tersebut hendaknya mampu menjawab permasalahan yang sedang dihadapi. Bahkan bedasarkan visi itu Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar telah menyusun program priotitas dalam meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. Namun untuk mewujudkan visi tersebut bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal itu perlu dukungan dari berbagai pihak, diantaranya dukungan dari Dinas Pendidikan yang ada di Kabupaten/ Kota dan sekolah-sekolah yang ada di Kalbar. Apalagi Kalbar saat ini dihadapkan pada krisis mutu pendidikan yang semakin tajam. Hal itu dibuktikan dari sumber data Puspendik dalam Aswandi (2006:5) berdasarkan rekap ketidaklulusan peserta ujian Nasional tahun 2004 / 2005 dari 31 Provinsi di Indonesia, Kalbar menduduki rangking 27 untuk tingkat SMP / MTs, rangking 24 tingkat SMA / MA, dan rangking 26 untuk tingkat SMK. Selanjutnya akses pendidikan di Kalbar yang masih berada di bawah rata-rata Nasional. Disisi lain Kalbar masih dihadapkan pada 4 hal, yaitu: (1) keterbatasan tenaga guru, (2) belum meratanya penyebran guru, (3) kurangnya profesionalitas guru, dan (4) berbagai fasilitas kegiatan belajar mengajar yang belum memenuhi standar.

2

Disamping 4 hal tersebut, terdapat 1 hal lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu latar belakang peserta didik yang multikultur. Maka diperlukan upaya pelaksanaan pendidikan multi kultur secara demokratis agar tidak menimbulkan berbagai gejolak. Mengingat Kalbar khususnya Kab. Sambas memiliki tingkat pluralisme cukup tinggi sehingga rawan dan rentannya pelajar terhadap tindak kekerasan serta berbagai gejolak yang berpotensi munculnya konflik, seperti konflik antaretnis yang terjadi pada tahun 1999. Semoga konflik yang banyak menimbulkan korban itu tidak terulang kembali. Lebih lanjut Dawam (2003:23) mengungkapkan, bahwa munculnya gejolak tersebut merupakan salah satu sebab karena model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih pada pendidikan kognetif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Sehingga pendidikan terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris karena lebih mengarah pada keahlian yang lepas dari idiologi nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat. Maka dapat dikatakan krisis mutu pendidikan di Kalbar tidak hanya ditentukan oleh 4 hal di atas, namun punya kecendrungan berakar “ socio economical environment dan cultural environment”, yang untuk tiap daerah berbeda-beda.

Untuk itu perlunya pendidikan multikultural yaitu pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralis, dan keberagaman yang ada di masyarakat. Maka dapat dikatakan, bahwa mutu pendidikan tidak hanya diukur dari nilai akademis, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan yang relevan dalam kehidupan di masyarakat. Sehingga mampu mengembangkan diri dalam kehidupan di masyarakat. Hal itu sesuai dengan UU No.20 tahun 2003, Bab II, pasal 3 berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Berdasarkan renungan tersebut, betapa sulitnya menciptakan manusia yang handal, tangguh, dan unggul dalam menghadapi persaingan global.

3

Dalam menyingkapi permasalahan tersebut perlu kiranya melakukan hal-hal berikut: pertama merapkan program dan strategi yang telah dicanangkan pemerintah pusat melalui Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah. (Depdiknas, 2001:5). Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sebagai paradigma pendidikan baru yang sangat strategis dalam pengembangan pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan daerah. Hal tersebut sangat memotivasi warga sekolah untuk berkreasi dan mandiri dalam melaksanakan reformasi sekolah (school reform) untuk mengembangkan dan memajukan sekolah kearah peningkatan mutu pendidikan. Reformasi Sekolah (school reform) tersebut diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan pendidikan, tuntutan masyarakat, dan persaingan IPTEK.

Selanjutnya Pemerintah daerah Kalimantan Barat berupaya menjaga keharmonisan masyarakat Kalbar, sesuai dengan visi yang diemban yaitu: “Harmonis dalam Etnis...”. Visi tersebut diharapkan dapat menciptakan keharmonisan sesama warga yang multi etnis. Hal itu dilakukan karena sering terjadi kekerasan antarwarga di Kalbar disebabkan oleh rendahnya kesadaran akan teloransi dan kurangnya demokrasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Selanjutnya dipertegas Marx dan Dom Helder dalam Hendry (2003:118) mengemukakan, bahwa ” lebih melihat bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam perfspektif struktural, konflik terjadi karena persoalan ketidakadilan dan diskriminasi sosial”.

4

Maka perlu menciptakan keharmonisan sesama warga dengan menanamkan demokrasi dalam pendidikan multikultur kepada generasi muda (pelajar) yang dianggap sebagai kelompok yang masih mencari jati diri, penuh emosi, dan idealisme yang tinggi agar dapat mengkonsentrasikan diri untuk belajar menyingkapi berbagai persoalan dengan demokratis, baik dalam proses belajar di sekolah maupun dalam pergaulan. Hal senada dipertegas John Dewey dalam Soedarto (2005:18) mengatakan, bahwa pendidikan yang demokratis perlu dikembangkan di sekolah, karena pendidikan yang demokrtis itu bukan hanya untuk mempersiapkan siswa bagi kehidupannya dimasyarakat kelak, tetapi dimaksudkan agar siswa sudah memiliki pengalaman tentang hidup bermasyarakat semasa ia masih di sekolah. Sekolah hendaknya merupakan sebuah “masyarakat mini” dimana praktik demokrasi yang berlaku dalam masyarakat perlu dikenalkan, dipahami dan dilatih untuk memperaktikkan dalam kehidupan.

Apalagi mengingat SMA N. 2 Sambas sebagai sekolah yang bersifat “semi urban” karena lokasinya berada di luar kota Sambas, yaitu diantara Kecamatan Sambas dan Kecamatan Sebawi. Maka siswanya berasal dari berbagai daerah / kecamatan yang ada di Kab.Sambas, seperti kecamatan: Tebas, Sebawi, Sambas, Paloh, Subah, Teluk Keramat, dan Satai. Maka ada perbedaaan kultur masyarakat perkotaan dan kultur masyarakat desa. Untuk itu di SMA N.2 Sambas, hendaknya dapat menerapkan pendidikan multikultur secara demokratis yang berorientasi pada mutu pendidikan.

Berdasarkan uraian di atas maka dirasa perlu untuk memaparkan tulisan tentang: “Upaya Menciptakan Lingkungan Belajar yang Demokratis dan Menghargai Keberagaman dalam Penerapan MBS di SMA Negeri 2 Sambas” mengingat hal tersebut sangat penting dalam memberikan solusi untuk meminimalisasi krisis mutu pendidikan di Kalimantan Barat, khususnya di SMA Negeri 2 Sambas.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Mengapa pentingnya pendidikan demokratis di Sekolah?

1.2.2 Bagaimanakah cara penerapan MBS?

1.2.3 Apakah faktor penyebab krisis mutu pendidikan di Kalbar?

1.2.4 Apakah uapaya dalam meminimalisasi krisis mutu pendidikan di Kalbar?

5

1.2.4 Bagaimanakah upaya menciptakan lingkungan belajar yang demokratis di SMA

Negeri 2 Sambas?

1.2 Tujuan Rumusan Masalah

Tujuan rumusan masalah ini mendeskripsikan tentang:

1.2.1 Pentingnya pendidikan demokratis di Sekolah.

1.2.2 Cara penerapan MBS.

1.2.3 Faktor-faktor penyebab krisis mutu pendidikan di Kalimantan Barat.

1.2.4 Upaya dalam meminimalisasi Krisis Mutu Pendidikan di Kalimantan Barat.

1.2.5 Upaya menciptakan lingkungan belajar yang demokratis di SMA Negeri 2 Sambas?

1.4 Metode

Metode yang dilakukan dalam tulisan ini yaitu metode kualitatif dengan menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis yang dianalisis secara rasional. Prosedur pemecahan masalah dilakukan berdasarkan pemikiran dan pengalaman langsung dalam praktik penerapan pendidikan multikultur di SMA N.2 Sambas, serta didukung studi literatur.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya pendidikan demokratis di Sekolah

Demokrasi Pendidikan adalah suatu kegiatan pendidikan yang memberikan kesempatan bagi semua warga pendidikan mulai dari siswa hingga guru untuk berperan aktif dan bersedia belajar secara mandiri dan bersama-sama tanpa membedakan latar belakang serta ikut berpartisipasi dalam pembelajaran yang mengacu pada kurikulum. Dalam menjalankan demokrasi perlu proses belajar dan pembelajaran warga dari sebuah bangsa bagaimana menjamin kehidupan bersama dalam memenuhi dan menentukan masa depan bangsanya.

Lembaga pendidikan sebagai “Kawah Candradimuka” nya para pemimpin bangsa ini ternyata belum mampu memberikan sumbangan yang optimal untuk terciptanya demokrasi yang diharapkan. Terbukti bahwa semua elit politik dan pemimpin bangsa ini dipastikan telah mengenyam pendidikan, tetapi pola sikap dan kebijakan mereka masih belum mencerminkan kepemimpinan yang demokratis. Dan kebijakan yang dibuat secara otoriter itu tidak jarang menimbulkan kontroversi dikalangan warga. Bahkan tidak sedikit yang berdampak pada timbulnya kekerasan antarwarga (Tim Madanika, 2006:1)

Berdasarkan pernyataan di atas, tergambar bahwa demokrasi yang sudah disuarakan oleh para pendahulu kita, bahkan apa yang sudah tercantum dalam UUD belum mampu dilaksanakan dengan sepenuhnya. Potret realita yang ada di gedung DPR RI , pada saat bersidang sering ditemukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Begitukah caranya pemimpin negeri ini berdeokrasi? Apa jadinya bangsa ini jika pemimpin yang katanya elit politik itu telah memberikan contah yang tidak baik. Mau dibawa kemana negeri tercinta ini dimasa depan?

6

Pendidikan demokrasi memerlukan sebuah proses. Sebuah proses pendidikan akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan cara yang demokratis. Kegiatan tersebut hendaknya dimulai dari satu kesatuan kurikulum, proses pembelajaran, fasilitas fisik dan nonfisik, hingga sistem evaluasi dibuat dan disusun untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa dengan melibatkan secara aktif unsur siswa dan guru. Selanjutnya menurut Paul Suparno dalam Soedarto (2005:20) mengatakan:”Sekolah yang demokratis akan membuka kesempatan bagi siswanya untuk mengembangkan pemikiran yang kritis dan rasional, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bebas mengekspresikan pendapat dan buah pikiran mereka, menghargai perbedaan dan menciptakan suasana belajar yang demokratis”.

7

Jika hal tersebut terus dilakukan maka akan menumbuhkan daya pemahaman dan penghayatan demokrasi dan prilaku demokratis pada siswa. Selanjutnya siswa akan terbiasa berdemokrasi sehingga akan menjadi bagian dari kehidupan siswa di sekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Hal itu dapat meredam munculnya gejolak tindak kekerasan (tauran) antarsiswa.

Namun pada kenyataannya saat ini kita dihadapkan pada suasana tidak demokratis, hal tersebut tampak dalam kecendrungan penekanan mertode mengajar pada larangan-larangan, komunikasi satu arah, hapalan (sebagai bagian dari indoktrinasi) dari pada pemberian dorongan dan kesempatan bagi siswa untuk melakukan pembelajaran melalui trial and error, dan membimbing untuk mengembangkan saling pengertian diantara para siswa. Organisasi siswa tidak diarahkan untuk memberi ruang pada siswa untuk belajar berorganisasi, sehingga mereka sampai pada kesadaran bahwa organisasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat sipil. Bagaimana caranya untuk menyiapkan pemuda masa kini untuk menjadi pemimpin yang demokratis dimasa depan? Sementara mereka tidak diperlakukan secara demokratis dan tidak diberikan kesempatan untuk berdemokasi. Hal itu menjadi PR bagi besar yang harus digaraf bersama demi mempersiapkan generasi depan yang tangguh.

Selanutnya siswa dalam menyerap pengetahuan yang disampaikan guru perlu sebuah proses. Dimana pengetahuan harus digeluti, dipikirkan, dan dikonstruksikan oleh siswa. Tanpa keaktifan siswa, merumuskan mencerna, dan memahami, dan merumuskan sendiri maka pengetahuan tersebut akan sulit diterima. Selanjutnya Vernon A.Magnesen dalam Dryden (2003:100) mengutarakan, bahwa “Kita belajar akan mendapatkan 10% dari membaca, 20% dari mendengar, 30 dari melihat, 50% dari melihat dan mendengar, 70% dari apa yang kita katakan, 90% dari yang dikatakan dan dilakukan”.

Untuk itu siswa harus mampu mengeluarkan gagasan, bila perlu gagasan yang berbeda dengan gagasan guru. Karena dalam pembelajaran demokrasi guru bukan penentu utama lagi, bahkan nilai bukan monopoli guru, kebenaran bukan monopoli guru, tetapi milik bersama, hasil dari sebuah proses pencarian dan pemikiran bersama secara rasional. Dalam hal ini, siswa mendapat kesempatan mengembangkan kreativitasnya dalam berbagai gagasan yang inovatif dan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya untuk didiskusikan bersama-sama. Karena dengan musyawarah persoalan sulit akan menjadi mudah. Al-Syalhub (2005:38) mengutarakan: ”Musyawarah lebih cendrung kepada kebenaran sedangkan meninggalkannya adalah cendrung pada kesalahan. Meminta pendapat orang lain, bukanlah bukti atas kekurangan ilmunya, tetapi hal itu justru bukti dari kesempurnaan akal dan kesungguhannya”

8

Dalam mengajarkan pendidikan demokratis perlunya keteladanan dari guru. Karena pendidikan demokrasi di sekolah akan berjalan dengan baik dan lancar bila guru mengajarkan demokrasi, hidup dan bersikap demokratis. Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus dapat menghayati nilai demokrasi, sehingga dapat mendidik siswa secara demokratris. Jika guru tidak demokratis maka sulit membantu siswa untuk bersikap demokratis. Dalam pembelajaran demokratis fungsi guru sebagai fasilitator dan mediator dalam membantu siswa agar siswa lebih aktif dalam belajar dan menemukan pengetahuan secara kreatif.. Maka tugas guru adalah memberikan rangsangan, mendukung, bertanya, mendengarkan, memperhatikan, dan menemani siswa dalam belajar, selanjutnya memantau dan mengevaluasi temuan siswa ( Suparno,2005:32).

Generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa perlu ditanamkan sikap teloransi dan dipacu untuk lebih aktif dan kreatif agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dieraglobalisasi. Salah satu wadah yang dapat mengarahkan dan mengembangkan kreativitas siswa sehingga siswa dapat berargumen dan berpikir kritis secara rasional dalam menghadapi perkembangan IPTEK adalah sekolah. Maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, mengasyikkan dan dapat menggiring serta memotivasi siswa dalam menumbuhkan daya kreativitasnya. Hal senada dipertegas Peter Klin dalam Dryden (2003:22)mengatakan:”Belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan”. Selanjutnya Herbert Spencer pada awal abad ini melontarkan pertanyaan:“Pengetahuan apa yang paling berharga? ”Jawabannya: “Pengetahuan yang memampukan kaum muda untuk menangani berbagai masalah dan menyiapkan mereka untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kelah akan mereka temui sebagai orang dewasa di tengah masyarakat demokratis”(Dryden, 2003: 105).

9

Untuk mewujudkan hal di atas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Salah satu langkah yang harus ditempuh dan dilakukan sekolah adalah bersikap proaktif dan berani melakukan trobosan-trobosan baru dalam mengubah kebiasaan instruktif dan prasaan selalu merasa puas, menerima, serta pasrah pada kenyataan yang ada untuk lebih berani mulai melakukan inovasi dalam semengat demokrasi.

Demokrasi yang disampaikan di sekolah selama ini hanya sebatas teoritis dan hapalan yang dikemas dalam pelajaran PPKn dan Tata Negara. Namun Pemahaman dan kesadaran berdemokrasi belum diarahkan pada sikap dan prilaku. Seharusnya hal itu perlu diaplikansikan dalam kehidupan di masyarakat. Semengat demokrasi perlu ditanamkan di sekolah, khususnya di sekolah yang ada di Kalbar. Mengingat Kalbar memiliki catatan sejarah kekerasan cukup tinggi. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar. Pada dasarnya masyarakat Kalbar hidup berdampingan secara damai, penuh teloransi dalam semengat pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran akan pluralisme tersebut mulai bergeser sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan zaman. Hal itu dibuktikan dengan sering terjadinya konflik di Kalbar ini. Seperti konflik tragis yang terjadi secara massal di Kabupaten Sambas pada awal tahun 1999. Peristiwa yang menggoreskan duka dan trauma yang dalam karena banyak menelan korban harta dan nyawa. Terjadinya konflik itu karena perbedaan kultur dan rendahnya kesadaran berdemokrasi dalam menyelesaikan masalah sehingga kurangnya interaksi sosial yang harmonis sesama warga. Peristiwa getir ini tidak perlu terulang kembali dan tidak perlu memperpanjang catatan sejarah konflik di Kalbar. Untuk itu sekolah-sekolah di Kalbar harus berani melakukan trobosan dengan menanamkan sikap demokrasi di sekolah khususnya dalam proses belajar mengajar.

Beberapa hal penting dalam Pendidikan Demokrasi di Sekolah :

(1). Pembelajaran yang dulunya berkiblat pada guru, kini berubah menjadi berpusat pada siswa sedangkan guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator.

(2). Pembelajaran yang terkesan otoriter, kini terjalin hubungan dialogis/interaktif saling membantu dan saling belajar antarsiswa dan siswa serta guru dan siswa.

(3).

10

Belajar berpikir rasional dan realistis dalam menyingkapi berbagai persoalan.

(4). Tumbuhnya semengat pluralisme dan kebersamaan dalam memahami perbedaan, sehingga terjalin rasa teloransi dan kerja sama yang harmonis.

(5). Komunikasi dulunya hanya satu arah dan top-down akan bergeser menjadi dua arah yang bersifat botton-up.

(6). Sikap siswa yang tertutup, pemalu, takut salah, dan kaku diharapkan berubah menjadi terbuka, berani mengeluarkan pendapat dan lebih luwes, serta berpikiran lebih terbuka dalam merencanakan masa depan.

(7). Terbangunnya daya imajinasi, kreativitas, dan inovasi serta tanggap terhadap kemajuan IPTEK.

2.2 Cara Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) sangat erat kaitannya dengan UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan daerah. UU tersebut membawa konsekuensi terhadap bidang-bidang kewenangan daerah sehingga lebih otonom, termasuk bidang pendidikan. Sekarang diharapkan pula pada Otonomi Daerah yang menuntut pengelolaan pendidikan secara Otonom dengan model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Manajemen (SBM) yang telah berhasil mengangkat kondisi dan memecahkan berbagai masalah pendidikan dibeberapa negara maju seperti Australia dan Amirika (Mulyasa, 2005: 24). Selanjutnya MBS merupakan:

(1). Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa Indonesia dalam penguasaan IPTEK.

Paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas di tingkat sekolah yang melibatkan masyarakat dalam rangka menerapkan kebijakan nasional.

(2). Sekolah dituntut secara mandiri menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas,

(3). mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

(4).

10

Salah satu wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan dan memadai bagi peserta didik.

(5). Mendorong profesional guru dan kepala sekolah dalam menciptakan sekolah yang demokrtis, menyenangkan, bermutu dan berprestasi.

Selanjutnya MBS bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Maka implementasi MBS menuntut dukungan tenaga kerja yang profesional agar dapat membangkitkan motivasi kerja sehingga lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Pelaksanaan MBS menuntut kemampuan profesional dan manajerial dari semua komponen warga sekolah agar semua keputusan yang dibuat sekolah atas dasar pertimbangan meningkatkan mutu pendidikan. MBS menawarkan keleluasaan, sehingga sekolah memiliki potensi yang lebih besar dalam menciptakan kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi yang profesional. Hal senada dipertegas Depdiknas (2002:9) MBS memberikan otonomi sekolah untuk meningkatkan mutu merupakan suatu keleluasaan yang diberikan kepada sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan melalui peningkatan kinerja semua stakeholdernya. Kebijaksanaan tersebut sangat membantu pihak sekolah dalam melakukan perubahan diri (self-reform). Kondidsi ini menuntut pemikiran yang sistematis dalam merumuskan hubungan kerja yang sesuai dengan kebutuhan sekolah dan otonomi daerah serta relevansi pendidikan. Dengan demikian reformasi Sekolah (school reform) diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan, tuntutan masyarakat, pendidikan, dan IPTEK di era globalisasi.

Maka dalam melaksanakan MBS perlu seperangkat kewajiban dan tuntutan pertanggungjawaban (akuntabelitas) yang tinggi kepada masyarakat. Untuk itu kepala sekolah, guru, dan staf adminoistrasi dituntut mampu menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan dan demokratis. Kemudian bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan kepada siswa. Untuk itu diharapkan kepada kepala sekolah harus dapat memposisikan diri sebagai agen perubahan di sekoah. Selanjutnya Mulyana (2005:28) mengatakan, bahwa kepala sekolah harus:

1.

12

memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar sekolah.

2. memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan pembelajara.

3. memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian dimasa depan berdasarkan situasi sekarang.

4. memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektivitas pendidikan di sekolah; dan

5. mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, serta mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.

Selanjutnya Dikmen menyampaikan 9 kewenangan yang diserahkan kepada sekolah dalam menyukseskan MBS, yakni:

1. Perencanaan dan Evaluasi sesuai kebutuhan sekolah.

~ Warga sekolah membuat rencana dan melakukan analisis peningkatan mutu.

~ Pelaksanaan program meningkatkan mutu berdasarkan evaluasi kebutuhan.

~ Evaluasi diri dalam melaksanakan peningkatan mutu harus dijalankan secara jujur dan transparan.

2. Mengembangkan Kurikulum

~ Sekolah memodifikasi, mengemengembangkan, memperdalam, dan memperkaya kurikulum tanpa mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara Nasional. Sekolah diperbolehkan mengembangkan kurikulum muatan lokal.

3. Proses Belajar Mengajar Berpusat pada Siswa

~ Guru memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran secara efektif yang berpusat pada siswa. Sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi sumber daya yang tersedia di sekolah.

4. Memberdayakan Tenaga Kependidikan

13

Sekolah melakukan:

~ Perencanaan tenaga (analisis kebutuhan tenaga dan usulan tenaga).

~ Pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan secara terus menerus.

~ Pemberian penghargaan (reward) kepada yang berprestasi dan sangsi (punishment) kepada yang melanggar.

~ Harmonisasi hubungan kerja.

~ Evaluasi kinerja tenaga kependidikan.

5. Fasilitas Sekolah Dipenuhi dan Diberdayakan

~ Sekolah mengadakan, memelihara, memperbaiki, dan memberdayakan pasilitas sekolah untuk proses belajar mengajakar.

6. Keuangan Dikelola Secara Profesional dan Transparan.

~ Alokasi keuangan dilakukan bersama-sama.

~ Pengelolaan keuangan dilakukan secara transparan dan akuntabel.

~ Penggalangan dana dari masyarakat dikelola secara transparan dan adil untuk

kepentingan sekolah.

7. Intensitas Pelayanan Siswa

~ Pengembangan layanan siswa dalam prestasi akademik,bakat, hobi, dan organisasi alumni.

8. Keharmonisan Hubungan Sekolah dan Masyarakat.

~ Meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat dalam hal moral dan pinansial.

9. Budaya Sekolah Menumbuhkan Semengat Belajar.

~ Membudayakan salam, sapa, dan senyum,

~ Lingkungan sekolah yang aman, sehat, dan tertib.

~ Aptunisme dan harapan yang tinggi dari warga sekolah.

~ Kegiatan-kegiatan berpusat pada siswa.

Berdasarkan 9 kewenangan tersebut, maka sekolah diberikan keleluasaan dalam merumuskan baerbagai perencanaan dan melaksanakan kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kurikum yang berlaku. Dengan adanya otonomi sekolah diharapkan tidak menjadi institusi mekanik, birokratif, dan kaku, tetapi menjadi sebuah institusi yang organik, demokratif, dan inovatif. Maka terjadinya perubahan peran, fungsi dan tanggung jawab dari seluruh warga sekolah untuk mengambil keputusan secara partisipatif harus dijadikan momentum menuju kepada pendidikan yang bermutu.

14

Implementasi MBS akan sukses jika didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional, fasilitas belajar yang cukup, tersedianya dana, sarana dan prasarana yang memadai, motivasi yang tinggi, proses belajar mengajar yang kondusif/menyenangkan. Selanjutnya didukung oleh semua warga sekolah, orang tua siswa, komite sekolah, masyarakat sekitar, dan pejabat terkait.

2.3 Faktor-Faktor Penyebab Krisis Mutu Pendidikan di Kalbar

Salah sutu permasalah penting dan selalu dibicarakan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia adalah peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan tidak ditentukan oleh faktor tunggal, namun melibatkan berbagai faktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi, diantaranya: siswa, guru, kepala sekolah, orang tua, pejabat terkait, fasilitas, pejabat pendidikan serta berbagai kebijakan dan pereturan yang berlaku. Sehingga permasalahan yang menyebabkan merosotnya mutu pendidikanpun beragam. Kalau Aswandi pernah mengungkapkan rasa kebingungannya tentang arah pendidikan dalam sebuah opini pada Buletin Dikmen dengan kalimat tanya yang berjudul “ Kemana Arah Pendidikan?”.Hal itu adalah wajar, karena memang mutu pendidikan di Indonesia khususnya di Kalimantan Barat memang penuh dengan tanda tanya (segudang tanda tanya). Pada hal telah muncul berbagai solusi untuk menjawab pertanyaan yang muncul dengan telah diterbitkan UU Pendidikan Nasional, peraturan, kebijakan, kurikulum dan berbagai strategi jitu dalam meningkatkan mutu pendidikan. Namun Realita yang ada mutu pendidikan masih jauh dari harapan, jika tidak ingin dikatakan “ Kedodoran dan Merosot” atau dengan meminjam istilah ekonomi”Krisis”. Berdasarkan temuan di lapangan terdapat beberapa faktor penyebab krisis mutu pendidikan, diantaranya:

1) Pendidikan lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas.

2) Pengelolaan sekolah / kepemimpinan kepala sekolah.

3) Guru tidak profesional.

4) Status sosial ekonomi orang tua dan motivasi belajar siswa

5) Input Sekolah masih lemah.

15

2.4 Upaya dalam Meminimalisasi Krisis Mutu Pendidikan di Kalimantan Barat.

Berdasarkan faktor penyebab krisis mutu pendidikan di Kalimantan Barat di atas, berikut ini ditawarkan solusi dalam upaya meminimalisasi krisis mutu tersebut, yakni:

2.4.1 Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Hampir di setiap kecamatan yang ada di Kalimantan Barat sudah dibangun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan sangat besar sekali. Dengan menjamur berdirinya Unit Sekolah Baru (USB) tersebut sangat menggembirakan dan memberikan kesempatan jangkauan pendidikan bagi masyrakat yang ada dipedalaman (pemerataan pendidikan), sehingga mereka tidak perlu ke kota untuk melanjutkan pendidikan SLTP dan SMA. Dengan adanya pemerataan pendidikan tersebut dapat mengurangi jumlah siswa putus sekolah, minimal program wajib belajar pendidikan 9 tahun dapat dituntaskan.

Namun, realita yang ada sangat ironis sekali, karena semakin banyaknya USB yang dibangun, maka semakin berkurang mutu pendidikan di daerah ini. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabnya: ”Belum tersedianya tenaga guru yang memadai, penyebaran guru yang tidak merata, dan guru tidak profesional”. Sehingga realita yang terjadi, seorang guru mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya, bahkan ada yang mengajar 3 sampai 4 mata pelajaran. Kemudian lebih ironis lagi guru yang ditempatkan di USB adalah guru bantu/kontrak yang berlatar belakang nonpendidikan.

Selanjutnya belum adanya tenaga administrasi/ tata usaha pada sekolah –sekolah yang telah dibangun, bahkan sudah 3-4 tahun sekolah tersebut berdiri belum memiliki tenaga administrasi khususnya pada jenjang SLTP dan SMA. Begitu juga halnya dengan fasilitas yang tersedia masih belum memadai.

Bagaimanakah nasib mutu pendidikan dalam situasi seperti ini? Jika kuantitas lebih diprioritaskan. Sementara untuk mencapai kualitas dengan situasi yang serba minim, sulit untuk diwujudkan. Maka bisa dikatakan wajar jika sekolah baru belum mampu menelorkan lulusan yang bermutu. Untuk itu diharapakan kepada Dinas Pendidikan: (1) agar terlebih dahulu dapat mempersiapkan tenaga pengajar/guru dan tenaga tata usaha sesuai dengan kebutuhan sebelum membangun USB, (2) guru dan tata usaha yang akan ditempatkan di USB hendaknyasudah memiliki pengalaman mengajar/bekerja sehingga dapat menjalankan tugas secara profesional, dan (3) tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai.

2.4.2

16

Pengelolaan Sekolah / Kepemimpinan Kepala Sekolah yang Efektif.

Sistem pengelolaan sekolah yang efektif dan efisien bertendensi pada pencapaian mutu pendidikan yang baik. Kepala sekolah harus mampu mengelola sekolah yang dipimpinnya secara profesional. Sehingga akan terwujud lingkungan belajar yang kondusif. Selanjutnya kemampuan manajerial yang handal mampu membawa suasana sekolah yang sehat, dinamis, penuh rasa kekeluargaan akan menumbuhkan etos kerja yang tinggi. Untuk mewujudkan kepemimpinan yang efektif, perlu perjuangan, kesungguhan, keuletan, dan kerja keras. Sementara saat ini banyak ditemukan kepala sekolah terpaksa siap menerima jabatan sebagai kepala sekolah lantaran sudah dianggap senior, pangkat dan golongan sudah memenuhi persyaratan sementara kesiapan kepala sekoalah sebagai pemimpin belum menunjukkan prestasi kerja yang menggembirakan. Seharusnya, pengangkatan kepala sekolah selain persyaratan di atas, hendaknya perlu uji kompetensi.

Untuk itu Kepala sekolah dieraglobalisasi dan otonomi ini harus mampu menciptakan kepemimpinan yang efektif, dengan cara:

(1). Merumuskan dan mengembangkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah bersama-sama dengan warga sekolah, melalui program yang sudah terencana dan bertahap.

(2). Menerapkan kemampuan kepemimpinan dan majemen yang memadai, agar mampu mengambil inisiatif untuk meningkatkan efektivitas sekolah.

(3). Mengubah sikap dari sekedar pelaksana menjadi interpreneur dengan visi yang jelas dan keinginan yang kuat untuk mengembangkan dan memajukan sekolah. Karena sekolah adalah amanat pemerintah dan rakyat yang diserahkan kepada kepala sekoah untuk dikembangkan dan dimajukan.

(4). Menunjukkan peranan sebagai pemimpin yang profesional.

(5). Memberikan masukan yang positif dan konstruktif kepada guru untuk perbaikan pengajaran.

(6). Memberikan masukan yang positif dan konstruktif kepada staf tata usaha untuk perbaikan administrasi sekolah.

(7). Memiliki kepemimpinan instruksional yang kuat.

(8). Menciptakan suasana akademik yang bercirikan high expectation dan tidak membiarkan siswa memiliki prestasi di bawah minimal.

(9).

17

Menciptakan suasana kondusif, menyenangkan, demokratis dilingkungan sekolah.

(10). Menumbuhkan dan mengembangkan daya kreativitas siswa, guru, dan staf lainnya sesuai dengan prioritas akademik, kebutuhan sekolah dan masyarakat.

(11). Memberikan penghargaan kepada siswa, guru, dan staf yang berprestasi.

(12). Bekerja sama dengan siswa, guru, staf tata usaha, orang tua, komite, dunia usaha,

(13). dan masyrakat dalam memajukan sekolah.

(14). Memonitor perkembangan siswa dan guru dalam pembelajaran.

(15). Melakukan trobosan yang inovatif dalam memajukan sekolah.

(16). Meningkatkan prestasi sekolah dan mutu pendidikan.

2.4.3 Menciptakan Guru yang Profesional.

Guru merupakan faktor penentu yang tak kalah pentingnya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Karena guru sebagai motor penggerak komponen lainnya, seperti: bahan ajar, alat peraga, alat dan bahan laboratorium serta media belajar lainnya. Komponen itu baru bermakna bila disampaikan oleh guru secara profesional. Selanjutnya hal senada dipertegas Joni dalam Idris (2005:12), salah satu persyaratan penting bagi terwujudnya pendidikan yang bermutu adalah apabila pelaksanaannya dilakukan oleh pendidik yang profesional dan keahliannya dapat dihandalkan. Dengan demikian gagasan-gagasan yang merupakan pesan pendidikan dapat dikelola dengan baik sesuai dengan tuntutan kurikulum, kebutuhan siswa, sekolah dan daerah serta disesuaikan dengan perkembngan globalisasi. Maka guru yang profesional harus mampu:

1) Menciptakan suasana kelas yang kondusif dan menyenangkan dengan melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar yang efektif dengan memanfatkan fasilitas dan situasi secara optimal.

2) Menerapkan kurikulum, metode dan trategi belajar yang variatif dan inovatif.

3) Melibatkan siswa dalam merencanakan pembelajaran dan mengelola pengetahuan

secara aktual dan bermakna bagi siswa.

4) Menguasai materi pelajaran sesuai dengan bidang pendidikan dan keahliannya.

5) Tampil menarik, yaitu mampu menunjukkan minat dan antusias yang tinggi dalam mengajar, sehingga dapat memotivasi prestasi siswa.

6)

18

Menciptakan suasana kelas yang demokratis dalam mendiskusikan materi pembelajaran bersama-sama siswa yang berlatar belakang aneka ragam, suku, budaya, adat istiadat, agama, dan etnis.

7) Menggiring dan memberikan umpan balik yang positif terhadap respon siswa.

8) Memiliki keterampilan interpersonal, yaitu mampu menunjukkan empati, penghargaan kepada siswa, dan mengakui / menerima perbedaan pendapat secara tulus dan terbuka.

2.4.4 Status Sosial Ekonomi Orang Tua dan Motivasi Belajar Siswa.

Status saosial ekonomi orang tua sangat berpengaruih terhadap pendidikan anak. Seperti diketahui bahwa Kalbar merupakan salah satu daerah miskin di Indonesia. Altbach, Arnove, dan Kelly dalam Idris (2005:14) mengatakan, berdasarkan sumber dari UNESCO tentang adanya hubungan yang kuat antara kekayaan nasional dengan rata-rata pencapaian tingkat sekolah dalam suatu negara, dengan demikian tidak mengherankan masyarakat yang lebih kaya dengan lebih banyak menyediakan fasilitas pendidikan untuk warga negaranya. Maka dapat dikatakan status sosial ekonomi orang tua yang kaya memungkinkan dapat menyediakan fasilitas belajar siswa. Fasilitas belajar dapat meningkatkan performansi siswa dalam upaya memperoleh pengetahuan. Hal itu kemungkinan dapat meningkatkan kualitas performansi siswa dan menumbuhkan motivasi siswa dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Karena motivasi merupakan salah satu hal yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal senada diungkapkan Houston dalam Idris (2005: 15) bahwa motivasi merupakan faktor yang memprakarsai , memperkuat, dan mempertahankan prilaku.

Motivasi merupakan faktor yang penting dalam keberhasilan belajar siswa, yang dapat memberikan arah, kekuatan dan daya guna untuk mencapai tujuan. “Seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi bekerja sangat giat, melakukan sesuatu dengan baik, lebih baik dari pada yang pernah dilakukan sebelumnya, bekerja lebih efisien dan lebih cepat (Slavin,1997). Selanjutnya motivasi belajar yang kuat dapat membuat siswa mau belajar, mau berpikir dan bekerja keras sehingga terjadi perubahan sikap dan tingkah laku dari yang pasif menjadi aktif dan dari yang tidak tahu menjadi tahu.

Berdasarkan pernyataan di atas, merupakan suatu kewajaran jika pendidikan di Kalimantan Barat ini merosot. Salah satu penyebabnya adalah minimnya ekonomi masyarakat Kalimantan Barat. Hal itu merupakan PR seluruh masyarakat dan pejabat terkait untuk menuntaskan keterpurukan ekonomi. Selanjutnya lebih diperburuk lagi dengan multi krisis yang sedang dihadapi bangsa ini. Salah satu upaya yang dapat menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar adalah guru yang prfesional seperti yang telah diungkapkan pada bahasan butir 2.4.3 di atas. Intinya guru yang profesional harus mampu menumbuhkan motivasi belajar siswa.

2.4.5

198

Mengoptimalkan Input Sekolah dalam Proses Belajar Mengajar

Sebagian orang beranggapan Input sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi lulusan (output). Input sekolah tergantung pada besar kecilnya NEM siswa saat memasuki sekolah, khususnya SD ke SLTP, dan SLTP ke SMA. Input sekolah baik jika siswa yang masuk di sekolah tersebut memiliki NEM yang tinggi, sebaliknya inputnya jelek jika siswa yang masuk di sekolah tersebut rendah. Namun pada kenyataannya output sekolah akan baik tidak hanya ditentukan oleh input sekolah, namun ditentukan juga oleh proses pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah dapat berjalan secara optimal dan profesional. Lancarnya proses pendidikan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti:kepemimpinan kepala sekolah, kemampuan mengajar guru, ekonomi orang tua, fasilitas, dan motivasi belajar. Faktor tersebut juga memegang peranan penting dalam meningkatkan mutu. Intinya keberhasilan dan prestasi siswa tidak hanya ditentukan oleh input sekolah.

2.5 Upaya Menciptakan Lingkungan Belajar yang Demokratis dalam Penerapan

MBS di SMA Negeri 2 Sambas.

Berbicara mengenai mutu pendidikan dapat ditinjau dari berbagai segi, karena mutu pendidikan bersifat dinamis. Maka pada tulisan ini dilakukan upaya meminimalisasi Krisis mutu pendidikan di Kalbar, khususnya di SMA Negeri 2 Sambas dalam penerapan MBS secara demokratis dalam mencapai prestasi akademik yang diimbangi dengan kebutuhan sekolah dan daerah. Selanjutnya Semiawan (2003:571) mengatakan ” Pendidikan bersifat resiprok, artinya pengaruh pendidikan terhadap lingkungan sekitarnya bersifat timbal balik”. Maka dengan demikian apa yang terjadi di sekolah tidak terlepas dari masyarakat dan berbagai kebijakan yang dikembangkan pada suprastruktur yang berlaku.

20

Langkah awal yang akan dilakukan dalam peningkatan mutu, yaitu dengan mempersiapkan dan memacu prestasi siswa baik di bidang akademik maupun nonakademis. Selanjutnya dikembangkan lagi prestasi tersebut hingga menjadi modal dalam beradaptasi dengan lingkungan masyarakat. Sejalan dengan Otonomi Daerah dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maka prestasi akademik harus diimbangi dengan kebutuhan sekolah dan daerah. Selanjutnya dapat dikemas dalam muatan lokal atau diselipkan pada mata pelajaran yang relevan. Akan tetapi muatan lokal tersebut harus dapat disesuaikan dengan tuntutan global dengan mengangkat berbagai potensi daerah.

Untuk itu sekolah perlu menetapkan prioritas anggaran untuk meningkatkan mutu secara adil dan efesien dengan segala keterbatasan sumber dana yang tersedia. Dalam hal itu pihak sekolah telah mendapatkan bantuan dana Block Grant berupa Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM ) dari Pendidikan Menengah Umum. Pemberian dana bertujuan memotivasi sekolah untuk melakukan reformasi diri (self reform) sesuai dengan prinsif Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) , yaitu pelaksanaan Kurikulum 2004 (KBK) lebih terfokus pada mutu yang dilelola secara jujur dan transparan. Perencanaan dan pengambilan keputusan secara demokratis dengan melibatkan semua warga sekolah, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan (sustainable improvement). Apalagi dalan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sangat memerlukan tenaga pengajar profesional dibidangnya dan didukung media pembelajaran yang memadai, dengan prinsip: (a) mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan secara fleksibel sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEK dan (b) pengembangannya melalui proses akriditasi yang memungkinkan mata pelajaran dimodifikasi (Direktorat Dikmenum:2003).

Selanjutnya pihak sekolah telah berupaya melaksanakan program peningkatan mutu berdasarkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah yang telah dibuat bersama-sama dengan warga sekolah untuk memajukan mutu pendidikan di SMA Negeri 2 Sambas khususnya dan Kalimantan Barat Umumnya. Walaupun usia SMA Negeri 2 Sambas masih dibilang muda (belum3 tahun) dengan segala keterbatasan dan kekurangan tenaga guru, sarana dan prasarana yang minim, seperti: (1) jumlah rombongan belajar 9 kelas, sedangkan ruang kelas yang tersedia hanya 6, (2) belum adanya laboratorium, (3)kekurangan tenaga guru (jumlah guru tetap hanya 12 orang), (4) belum adanya tenaga administrasi (honorer 2 oranga), (5) perpustakaan belum berfungsi karena masih minim buku-buku dan dipakai sebagai ruang belajar. Dengan berbagai kendala tersebut pihak sekolah tersebut pihak sekolah terus berupaya berbenah diri untuk memajukan dunia pendidikan dengan mengoptimalkan segala fasilitas yang ada, berdasarkan:

21

1) Visi : “Menciptakan SDM Berkualitas melalui Intelektualitas, Relijiusitas, Sosialitas,

Humanitas, dan Kreativitas”.

2) Misi : ~ Menciptakan siswa yang bermorol luhur, menguasai ilmu pengetahuan, kreatif,

inovatif, proaktif, dan peduli terhadap kehidupan sosial serta mampu

merealisasikan dalam kehidupan di masyarakat.

~ Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan profesional tenaga kependidikan

sebagai instruktur, fasilitator, media tor, motivator, sesuai dengan

perkembangan dunia pendidikan.

3) Tujuan: ~ Meningkatkan mutu pendidikan melalui inisiatif sekolah dalam mengelola

dan menumbuhkan daya kreativitas siswa melalui sumber daya yang tersedia.

~ Menciptakan hubungan yang sinergis antara sekolah dan masyarakat.

~ Mempersiapkan siswa dibidang Akademik dan Kecakapan Hidup (life Skill)

agar dapat melanjutkan keperguruan tinggi dan mandiri menghadapi dunia

nyata sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.

4) Sasaran: ~ Menciptakan SDM berkualitas dan mandiri dalam menghadapi dunia nyata

dengan berbekal ilmu pengetahuan dan life skill.

~ Adanya kolaborasi yang sinergis antara pihak sekolah, masyarakat, dunia

usaha, dan pemerintah.

~ Meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari

masyarakat dalam memajukan sekolah (pendidikan).

~ Mengoptimalkan dan memanfaatkan SDM yang tersedia untuk memajukan

sekolah dan bermanfaat bagi masyarakat.

Berdasarkan visi,misi,tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam meminimalisasi krisis mutu pendidikan dalam penerapan MBS secara demokratis di SMA Negeri 2 Sambas. Maka hal-hal yang dilakukan pihak sekolah baik dalam kegiatan belajar mengajar secara formal maupun melalui kegiatan ekstrakurikuler, baik secara intrasekolah maupun antarsekolah, sesuai misi sekolah, berupa:

22

5.2.1 Menciptakan Siswa yang Bermorol Luhur, Menguasai Ilmu Pengetahuan, Kreatif,

Inovatif, Proaktif, dan Peduli terhadap Kehidupan Sosial serta Mampu

Merealisasikan dalam Kehidupan di Masyarakat.

Walaupun SMA Negeri 2 Sambas masih berusia muda dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana yang ada tetap akses untuk memejukan dunia pendidikan, dengan cara mengoptimalkan segala keterbatasan yang ada. Selanjutnya mengatur berbagai starategi dan usaha dalam memenuhi segala kekurangan. Untuk itu pihak sekolah telah melakukan beberpa upaya:

9) Mengusahakan Bantuan dari berbagai Pihak untuk Menyediakan Sarana dan Prasarana Sekolah demi Kelancaran Kegiatan Belajar Mengajar dan Ekstakurikuler

Pihak sekolah telah megajukan beberapa usulan profosal untuk mendapatkan bantuan dana dalam menyediakan berbagai fasilitas untuk meningkatkan mutu, dintaranya ke:

(a). PT. Sumber Jantin

PT. Sumber Jantin (perusahan karet) yang berdomisili tidak jauh dari SMA Negeri 2 Sambas, telah menberikan bantuan secara cuma-cuma 10 buah komputer yang dapat mendukung mata pelajaran Komputer.

(b). BNI 46

Bank Nasional Indonesia ini telah memberikan bantuan paket alat olah raga dan 1 buah kompoter lengkap lengkap dan sebuah printer. Dengan alat tersebut dapat membantu kelancaran kegiatan belajar mengajar.

(c). PT PLN

Perusahaan Listrik Negara (PLN) cabang Sambas telah memberikan bantuan 2 buah komputer Pentium 4 lengkap untuk kelancaran administrasi sekolah.

(d). BANK KALBAR

Bank Kalbar cabang Sambas telah memberikan bantuan Bea Siswa pada 6 orang siswa yang berprestasi. Sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa.

(e). Dinas Pendidikan Kabupaten Sambas

Diknas Sambas telah memberikan bantuan paket peralatan Olahraga untuk menunjang kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler.

23

(f). Dinas Para Wisata dan Budaya Kabupaten Sambas

Diskomparbud Sambas telah memberikan bantuan peralatan kesenian daerah, khususnya alat musik raddat. Alat tersebut dapat membantu kegiatan ekstrakurikuler kesenian, khususnya kesenian daerah Kabupaten Sambas (lihat lampiran).

(g). Dinas Lingkungan Hidup

Menjalin kerja sama dengan Dinas lingkungan Hidup dalam menciptakan suasana sekolah yang asri dan nyaman, salah satunya pihak sekolah telah mendapatkan bantuan bibit pohon pelindung.

(h). Departemen Agama Kabupeten Sambas

Menjalin kerja sama dalam membina Iman Taqwa siswa, yaitu dengan membuka taman bacaan Quran di SMA N.2 Sambas. Selanjutnya pihak seklah mendapat bantuan Quran.

(i). Dinas Pertanian

Pihak sekolah telah mendapatkan bantuan bibit tanaman untuk praktik pelajaran biologi, yang ditanam dilingkungan sekolah.

(j). Dinas Kelautan dan Perikanan

Kerja sama yang akan dirintis adalah pelatian keterampilan kelautan. Tenaga pelatihnya dari Dinas Kelautan dan Perikanan.

(k). Orang Tua Siswa dan Komite Sekolah

Orang tua siswa dan komite telah banyak memberikan dukungan dan bantuan untuk memajukan sekolah, diantaranya:telah membangun garasi, kantin, pentas seni, jalan, dan telah membantu kelancaran berbagai kegiatan akademik serta nonakademik. Selain hal yang telah disebutkan di atas, wujud lain yang telah dilakukan dalam menjalin kerja sama dengan orang tua/wali siswa, komite, masyarakat sekitar dan pihak sekolah, yaitu dengan melaksanakan kegiatan gotong – royong dalam menyukseskan kegiatan Khatamul Quran sekaligus perpisahan/pelepasan siswa kelas III. Dalam kegiatan tersebut orang tua/wali siswa, pengurus komite, masyarakat Sungai Pinang, dan dewan guru bekerja sama dalam penyambutan tamu, mengarak siswa, menyediakan konsumsi, perlengkapan, dan hiburan (tahar dan raddat).

24

(l) Masyarakat Sekitar Sekolah

Masyarakat sekitar sekolah, khususnya desa Sungai Pinang telah banyak membantu dalam menciptakan keamanan sekolah,seperti: menjaga malam dan penjaga keamanan setiap ada kegiatan yang berskala kabupaten, provinsi, dan Nasional yaitu dengan melibatkan anggota keamanan dari Forum Kesatuan Pemuda Melayu (FKPM) yang ada di Desa Sungai Pinang (tempat sekolah bermungkim). Selanjutnya melaksanakan bekerja sama dengan masyarakat sekitar pada setiap pelaksanaan hari besar agama seperti: Mauled Nabi, Tahun Baru Islam, Isra’ Mi’rad, pengelolaan kantin sekolah, dan lain-lain. Selanjutnya selalu melibatkan masyarakat setempat dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas sekolah yang didanai oleh orang tua dan komite. Bahkan beberapa pemuka masyarakat Sungai Pinang dimasukkan dalam pengurus Komite Sekolah dan beberapa orang pengurus Masjid Desa Sungai Pinang ikut membantu kegiatan ekstrakurikuler membaca Al-Quran (mengaji). Setiap akhir tahun ajaran pihak sekolah mengagendakan acara Khatamul Quran dalam setiap acara perpisahan/pelepasan siswa kelas III. Pada tahun pertama kelulusan ini pihak sekolah menghatamkan 70 siswa, dan siswa tersebut mendapatkan Sertifikat Khatam Quran dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Sambas.

Dalam menciptakan siswa yang bermorol luhur dan menguasai ilmu pengetahuan, pihak sekolah telah melalukan berbagai kegiatan dengan membekalkan dan menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan (IMTAQ) dan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Untuk itu kegiatan yang telah dilakukan pihak sekolah dalam menciptakan siswa yang bermoral luhur, seperti: (a) melaksanakan kegiatan pesantren kilat dan keagamaan yang bekerja sama dengan Yayasan Ussuah/Ussuatun dan Bina Insan Canter (BIC) Sambas. (b) mengadakan kegiatan ekstrakurikuler pengajian (membaca Al-Quran) yang dibantu oleh masyarakat Sungai Pinang dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Sambas (STAIS).

Kemudian dalam membekali siswa agar menguasai ilmu pengetahuan, yaitu: (a) menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik dengan menggunakan Kurikulum 2004 dan menerapkan MBS secara demokratis dalam kegiatan belajar mengajar. (b) melaksanakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan bakat dan minat siswa, sepert: seni tari, seni sastra, seni suara, olahraga, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Majalah Dinding (Mading) khususnya Mading 3 Dimensi, penulisan artikel. (c) membekali siswa keterampilan, seperti membuat batako, vas bunga, penataan taman, kerajinan khas Sambas yaitu tenun,dan anyaman rotan dan bambu.

25

Mengingat tujuan Kurikulum SMA tahun 2004 tidak hanya menyiapkan siswa untuk melanjutkan keperguruan tinggi tetapi juga menyiapkan siswa yang tidak dapat melanjutkan perguruan tinggi menjadi tenaga siap pakai untuk mencari nafkah/ menghidupi dirinya dan berguna bagi masyarakat. Karena sebagian besar siswa SMA Negeri 2 Sambas berekonomi menengah kebawah (miskin). Untuk itu siswa juga perlu dibekali kecakapan hidup (life skill).

Strategi pelaksanaan pembekalan life skill bereorientasi pada pembelajaran khususnya pelajaran keterampilan.dengan melibatkan masyarakat sekitar yang ahli sebagai instruktur. Selanjutnya siswa disamping memiliki kualitas akademik, juga dibekali kecakapan hidup agar berani menghadapi problema kehiduapan serta lebih aktif dan kreatif menemukan solusi dalam mengatasi berbagai masalah.

Kegiatan yang telah dilakukan warga SMA N.2 Sambas dalam membekali kecakapan hidup dengan mengadakan kunjungan ke tempat pengrajin seperti dalam mata pelajaran keterampilan, siswa perlu mengenal dan dapat membuat berbagai kerajinan asli daerahnya, misalnya kerajinan anyaman rotan dan bambu di Kecamatan Sejangkung, kerajinan tenun di Desa Semberang dan lain-lain ( lihat lampiran 1). Dengan demikian, selain mendapatkan keterampilan, selanjutnya siswa dapat mengamati kehidupan sosial masyarakat setempat kemudian dapat merielisasikannya dalam kehidupan di masyarakat.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, namun pihak sekolah terus berupaya meraih berbagai prestasi, berkat bantuan dari berbagai pihak. Prestasi yang telah diraih siswa SMA N.2 Sambas di bidang akademik maupun nonakademik dari tingkat daerah dan hingga tingkat Nasional (data prestasi lihat lampiran 9).

10) Mengangkat tenaga guru, tenaga administrasi, petugas kebersihan/penetaan taman, dan penjaga malam sebagai tenaga honorer.

Tenaga honorer tersebut sangat diperlukan dalam kelancaran kegiatan belajar mengajar, kegiatan ekstrakurtikuler, keamanan sekolah, dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif dalam peningkatan mutu pendidikan.

26

5.2.2 Meningkatkan Pengetahuan dan Kemampuan Profesional Tenaga Kependidikan

sebagai Instruktur, Fasilitator, Media tor, Motivator, sesuai dengan

Perkembangan Dunia Pendidikan.

Warga SMA Negeri 2 Sambas pada tahun pelajaran 2005/2006 sudah mulai menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) karena kurikulum tersebut sangat mempertimbangkan berbagai aspek yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman serta semangat Otonomi Daerah. Kurikulun 2004 ini lebih demokratis, karena peran serta anak didik bukan hanya sebagai penerima ilmu dari guru. Namun siswa bersama-sama guru terlibat merancang proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai srategi/metode. Kurikulum ini juga kaya akan metode pembelajaran sehingga siswa tidak merasa bosan. Terdapat 42 metode yang bervariasi yang bisa dipilih siswa dan guru dalam merancang proses pembelajaran. Maka akan terjalin komunikasi yang harmonis anatar guru dan siswa (kontak pedagogi). Selanjutnya guru sebagai fasilitator dan mediator harus mempu mengelola kelas dengan baik dan menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa termotivasi dalam proses belajar mengajar. Hal itu dapat menumbuhkan kreativitas dan daya inovasi siswa dalam mengembangkan pembelajaran. Kemudian guru bersama siswa bisa menciptakan suasana kelas agar tidak monoton dan sesuai dengan materi dan metode yang digunakan. Misalnya: menata tempat duduk melingkar, bujur sangkar, kerucut, berbanjar dan lain-lain. Kemudian belajaran tidak musti di dalam kelas, dan belajar tidak hanya duduk dikursi, bahkan siswa bisa dibawa ke aula, lapangan, mushola, perpustakaan, di halaman sekolah.

Dalam meningkatkan pengetahuan, guru sebagai pendidik dan pengajar yang demokratis memerlukan beberapa kompentensi, diantarnya penetahuan bidang studi yang diajarkan, merancang/menyusun prangkat pembelajaran dan evaluasi, memiliki kepribadian yang dapat dijadikan panutan, sabar, terbuka dan-lain-lain. Kompetensi tersebut harus berkembang dan sesuai dengan kebutuhan siswa, masyarakat dan kemajuan zaman. Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik, mengajar, dan melatih siswa agar siswa mampu mengembangkan kepribadiannya. Untuk itu diperlukan guru yang profesional, karena agar guru dapat membantu siswa berhasil dalam belajar. Seorang guru harus tampil menarik, menyenangkan, dan mampu menggiring, serta menjadi motivator siswa dalam menemukan dan mengemukakan ide-ide kreatif sehingga siswa termotivasi dalam belajar. Profesionalisme guru tergambar dari kualitas dan kualifikasi yang dimilikinya. Karena guru yang berkualitas dan kerkelayakan yang mampu berperan sebagai instruktor, fasilitator, motivator dan mediator bagi siswa dalam proses pembelajaran yang efektif dan mampu pula memanfaatkan fasilitas dan situasi yang ada secara optimal.

27

Untuk meningkatkan pengetahuan dan kemempuan guru agar menjadi guru yang profesional perlu dilakukan kegiatan: 1) pelatihan/penataran guru, 2) memberikan kesempatan guru untuk melanjutkan pendidikan, 3) mengadakan MGMP, dan 4)melaksanakan bimbingan penulisan karya ilmiah bagi guru untuk pengembangan profesi dan mengikuti berbagai lomba, sepert: Lomba Kreativitas Guru dan Lomba Inovasiovasi Pembelajaran.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab II maka dapat disimpulkan:

3.1.1 Pentingnya penerapan demokrasi di sekolah, karena sekolah merupakan wadah yang dapat mengarahkan dan mengembangkan kreativitas siswa, sehingga siswa dapat berpikir kritis secara rasional dalam menghadapi perkembangan IPTEK diera

persaingan global. Dengan membiasakan siswa dalam berdemokresi, maka segala persoalan dapat diselesaikan secara damai dan tidak terjadi tindak kekerasan (konflik).

3.1.2 Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang sudah dirancang pemerintah memberikan otonomi lebih luas kepada warga sekolah untuk memajukan sekolah. MBS selalu berorientasi pada kebutuhan sekolah dan daerah sehingga dapat memotivasi warga sekolah untuk berkreasi dan mendiri dalam melaksanakan reformasi sekolah (school reform) untuk memaukan sekolah dan meningkatkan mutu pendidikan.

3.1.3 Faktor-faktor penyebab krisis mutu pendidikan, diantaranya: (1). Pendidikan lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas (2). Pengelolaan sekolah / kepemimpinan kepala sekolah, (3). Guru tidak profesional, (4). Status sosial ekonomi orang tua dan motivasi belajar siswa, dan (5). Rendahnya input sekolah.

3.1.4 Upaya dalam meminimalisasi Krisis Mutu Pendidikan di Kalimantan Barat, diantaranya: (1). Meningkatkan Kualitas Pendidikan, (2). Pengelolaan Sekolah / Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif , (3). Menciptakan guru yang profesional. (4). Status sosial ekonomi orang tua dan motivasi belajar siswa , (5). Mengoptimalkan Input Sekolah dalam proses belajar mengajar.

3.1.5 Upaya meminimalisasi krisis mutu pendidikan di Kalbar dalam penerapan MBS

28

secara demokrasi di SMA N.2 Sambas dengan cara: 1) memacu pristasi siswa di bidang akademik dan nonakademik yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan daerah dalam penerapan MBS secara demokratis, 2) Warga sekolah menyudusun rencana dengan menetapkan prioritas anggaran sekolah untuk meningkatkan mutu. 3) merubah pola pikir siswa kearah positif dan lebih kreatif, 4) Mengoptimalkan segala kekurangan yang ada dengan melibatkan siswa dan warga sekolah dalam menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai.

29


3.2 Saran-saran

Saran ini ditujukan kepada:

3.2.1 Guru dan warga sekolah agar dapat berupaya meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kurikulum dalam menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah dengan cara yang demokratis.

3.2.2 Berbagai pihak yang terkait agar dapat membuat kebijakan dan keputusan dengan

memprioritaskan meningkatkan mutu pendidikan.

3.2.3 Penulis berikutnya diharapkan mampu mengembangkan dan menemukan strategi

yang tepat dalam meredam krisis mutu pendidikan.

30

DAFTAR RUJUKAN

Al-Syalhub Fuad Bin Abdul Aziz. 2005. Panduan Praktis Bagi Para Pendidik: Quantum

Teaching 38 Langkah Belajar Mengajar EQ Cara Nabi SAW. Jakarta: Zikrul

Hakim.

Arikunto, Suharsemi dan Cepi Safruddin Abdul Jabar. 2004. Evaluasi Program

Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Praktisi Pendidikan. Jakarta: PT.Bumi

Aksara.

Aswandi. 2006. Wajah Pendidikan Nasional di Kalimantan Barat. Makalah disajikan

dalam Lokakarya Demokratisasi Pendidikan untuk Demokrasi Damai bagi Siswa

dan Guru di Kalimantan Barat. Pontianak, 18-22 Januari.

Budiyanto.2003. Pelajaran Tata Negara SMA. Jakarta: Erlangga.

Dawan, Ainurrofiq. 2003. Emoh Sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.

Direktorat Menengah Umum. Anonim. Manajemen Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

Direktorat Menengah Umum. 2005. Pedoman Pelaksanaan Pemberian Block Grant. J

Jakarta: Depdikbud.

Dryden, Gordon dan Jeannette Vos.2003. Revolusi Cara Belajar (The Learning

Revolution). Bandung: Kaifa.

Fadjar, Malik. 2003. School-Based Management. Jakarta: PT.Logos Wacana Ilmu.

Fakih, Mansour. 2001. Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan.

Yogyakarta: Insist Press Cindelaras dan Pustaka Pelajar.

Hendry, Eka. 2003. Monofoli Tafsir Kebenaran: Wacana Kritis dan Kekerasan

Kemanusiaan. Pontianak. Kalimantan Persada Press.

Idris, Jamaluddin. 2005. Analisis Krisis Mutu Pendidikan. Yogyakarta: Taufiqiyah Sa’adah

Jumadi. 2006. Membangun Kesadaran Demokrasi dan Multikultural: Makalah disajikan

dalam Lokakarya Demokratisasi Pendidikan untuk Demokrasi Damai bagi Siswa

dan Guru di Kalimantan Barat. Pontianak, 18-22 Januari.

Mukhtar,dkk.2005. Sekolah Berprestasi. Jakarta: PT Nimas Multima.

Mulyasa.2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rusdakarya.

Rochaety, Eti. Dkk. 2005. Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Samiawan, Conny. 2003. Pendidikan, Mutu Pendidikan dan Peranan Guru (Ed), Guru di

Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya Sejak Zaman Kolonial

Hingga Era Reformasi (hlm. 571-592). Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.

Shor, Ira dan Paulo Freife. 2001. Menjadi Guru Merdeka: Petikan Pengalaman.

Yogyakarta: LkiS.

Soedarto. 2005. Menumbuhkan Pemahaman Demokrasi dan Perilaku Demokrasi Melalui

Pendidikan di Sekolah, Suara Pendidikan Kalbar. Edisi Juli, hlm 18-21.

Soedarto. 2006. Demokratisasi Pendidikan dan Pendidikan Multikultur. Budedam.Edisi 1,

hlm.3

Stevan M.Chan.2002. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Suparno. 2005. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: PT Grasindo.

Tim. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.

Tim. 2003. Guru di Indonesia. Jakarta: Depdiknas.

Tim. 2006. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil

Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.

Tim. 2006. Laporan Lokakarya Siswa dan Guru dalam Demokratisasi Pendidikan untuk

31

Demokrasi Damai. Pontianak, 18-22 Januari.

Undang- Undang RI No. 20.Tentang Sistem Pendidikan Nasional.2003.Jakarta: Depdiknas

32

Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Praktek Keterampilan Kerajinan Rotan dan Bambu di Sejangkung

Lampiran 1




Lampiran 2










Lampiran 2







33






Lampiran

3







34



Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Praktek Keterampilan Tenun Khas Sambas di Sekolah



Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Praktek Kimia Dengan Peralatan Sederhana di Ruang Kelas



355

Lampiran

Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Praktek Keterampilan Seni Kria

4
Lampiran

Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Kegiatan Ekstra Kulikuler Seni Tari (Tari Raddat)

5

36


37

Lampiran

Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Kegiatan Belajar di Ruang yang Berdinding Plastik

Siswa SMA N 2 Sambas

Melaksanakan Sosialisasi Demokrasi Pendidikan

6
Lampiran

Suasana Lingkungan

SMA N 2 Sambas

Suasana Lingkungan

SMA N 2 Sambas

7

38